"Dan...the best producer of the year untuk wilayah Indonesia Timur adalah...Elena Sandi!"
Suara pembawa acara yang biasa dikenal dengan sebutan MC (Master of Ceremony) itu bergaung membahana di dalam grand ballroom hotel bintang lima termegah di kota Surabaya itu. Terdengar suara meriah tepuk tangan para hadirin yang berpenampilan anggun dan menawan malam itu. Tak sedikit diantara mereka yang bangkit berdiri untuk menunjukkan penghormatan kepada wanita yang namanya tadi disebut oleh MC pria berpenampilan perlente itu.
Elena Sandi, wanita cantik yang telah berkecimpung selama sepuluh tahun di bisnis asuransi jiwa dan kesehatan, dengan torehan prestasi yang sangat membanggakan di setiap tahunnya. Mengenakan gaun indah berwarna merah menyala yang membuat kulit putihnya yang mulus semakin tampak berkilauan, ia beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke arah panggung untuk menerima penghargaan.
Terdengar hingar-bingar lagu kebangsaan perusahaan asuransi tempatnya bernaung mengiringi langkah-langkah kakinya yang penuh percaya diri.
We are the winners, my friends
And we'll keep on fighting till the end
We are the winners
No time for the losers
Sesampainya di atas panggung kehormatan, wanita yang rambutnya disanggul modern nan anggun itu mengalihkan pandangannya pada segenap hadirin. Orang-orang yang tidak sampai separuh dikenalnya itu berdiri menatapnya dengan sorot mata penuh kekaguman. Aku bagaikan ratu, soraknya dalam hati.
Dan itu Mama...duduk di barisan paling depan dengan ekspresi muka penuh kebanggaan melihat diriku dielu-elukan. Seharusnya beliau yang menerima penghargaan ini, gumam Elena dalam hati. Mama...penasihat utamaku, motivator terbesarku. Biarlah malam ini dia menikmati kebahagiaannya karena telah berhasil menciptakan seorang Elena Sandi yang sarat prestasi. Karena esok hari...kebahagiaannya akan musnah.
Dengan penampilannya yang memukau, Elena menerima piagam penghargaan dan memberikan kata sambutan pada segenap hadirin yang menaruh hormat kepadanya.
***
Keesokan harinya, terjadilah percakapan yang dramatis antara Elena dengan Soraya, mamanya.
"Apa Mama nggak salah dengar, Lena? Kamu mau mengundurkan diri dari bisnis asuransi?"
Yang ditanya mengangguk mantap. "Lena sudah berumur tiga puluh tujuh tahun, Ma. Sudah waktunya memikirkan masa depan."
"Masa depanmu adalah mengembangkan rekrutan agen-agen dibawahmu, menjadikan mereka leader-leader yang mumpuni, dan membuka kantor cabang mandiri, Nak. Jangan merasa cepat puas dengan prestasi sebagai penjual terbaik. Setiap tahun harus selalu ada peningkatan. Dulu kamu menjadi penjual terbaik di kantor, lalu meningkat menjadi se-Surabaya, se-Jawa Timur, dan kini se-Indonesia Timur...."
"Kemudian naik menjadi se-Indonesia, se-Asia Tenggara, dan seterusnya. Lalu kapan Lena akan berumah tangga, Ma?"
Sang ibunda tercengang. Tak disangkanya putri kebanggaannya ini bisa berpikir untuk menikah. Sudah bertahun-tahun ini ia tidak pernah memperkenalkan pria manapun sebagai teman dekatnya.
Soraya yang kelihatan awet muda karena rajin merawat diri itu mendesah putus asa. "Buat apa berumah tangga, Nak? Kamu tahu sendiri rumah tangga Mama nggak bertahan lama. Kedua adikmu kondisinya juga nggak lebih baik. Suami Levi adalah seorang pengusaha sukses namun terkena kanker. Hartanya ludes untuk biaya pengobatan yang sangat besar. Adikmu harus berhemat supaya tetap dapat menghidupi ketiga anaknya. Sedangkan Lita menikah dengan anak orang kaya yang ternyata nggak bisa apa-apa setelah orang tuanya meninggal dunia. Ia harus bekerja keras untuk membantu suaminya membesarkan kedua anak mereka...."
"Bukankah roda kehidupan selalu berputar, Ma? Kadang di bawah, kadang di atas. Asalkan kita tetap tawakal kepada Tuhan dan mengusahakan yang terbaik, pasti ada jalan untuk menghadapi segala kesulitan. Bukankah Mama juga mengalaminya sendiri? Dulu Mama adalah anak orang berada yang dijodohkan dengan Papa yang merupakan anak konglomerat. Mama menikmati kehidupan yang mewah bersama Papa selama bertahun-tahun...."
"Lalu harta kami habis tak tersisa akibat ulah papamu yang doyan berjudi dan main perempuan!"tukas sang ibunda dengan nada suara nyaris berteriak. Mukanya merah padam saking marahnya.
Elena terdiam. Dia sebenarnya tidak bermaksud membuka luka lama ibundanya. Bagaimanapun juga wanita cantik berambut ikal kecoklatan itu adalah orang yang telah berjasa melahirkan dan membesarkannya.
"Papamu kemudian sakit-sakitan. Ia meninggal dengan tenang sementara anak-istrinya hidup terlunta-lunta karena semua aset habis dijual untuk membayar hutang-hutangnya yang sangat besar. Nggak ada seorangpun sanak saudara yang bersedia membantu karena uang mereka sering dipinjam Papa dan nggak dikembalikan. Kita sampai harus hidup dengan sangat prihatin. Tinggal di rumah kontrakan kecil yang sering kebanjiran di musim hujan. Kamu sampai harus bekerja mati-matian sebagai guru les privat dan berjualan produk MLM di sela-sela kuliahmu demi membiayai hidup keluarga dan sekolah adik-adikmu. Bahkan ketika dirimu sudah mapan bekerja sebagai sekretaris bos perusahaan asing, kamu masih menyambi berjualan ini-itu. Baru setelah full time bekerja sebagai agen asuransi, kamu berhasil membeli mobil, rumah, ruko, apartemen, pakaian dan aksesoris bermerek, juga mengajak Mama dan adik-adikmu berlibur ke luar negeri..."
Elena menelan ludahnya dengan perasaan getir. Begitulah ibunya kalau sudah membicarakan kesuksesannya sebagai agen asuransi. Selalu berujung pada harta berlimpah yang dihasilkannya.
"Sekarang kamu sudah terkenal, Nak. Banyak orang yang memujamu. Nasabah-nasabah banyak yang percaya kepadamu karena sering melihat fotomu di koran memenangkan penghargaan asuransi. Omzet tiap tahun meningkat dengan mudahnya, nggak sesulit ketika dulu kamu baru merintis bisnis ini. Sering ditolak, dicuekkin, dan direndahkan oleh orang lain. Apakah jerih payahmu selama sepuluh tahun mau dicampakkan begitu saja?"
"Lena lelah sekali, Ma. Lelah didorong terus-menerus oleh Mama dan orang-orang di kantor untuk mencapai prestasi lebih tinggi lagi. Lama-kelamaan Lena merasa seperti robot yang harus memenuhi ambisi orang-orang di dekat Lena, bukan ambisi Lena sendiri."
"Lalu apa yang mau kamu lakukan setelah mengundurkan diri? Pekerjaan apa lagi yang bisa memberikan hasil yang setara dengan yang kamu peroleh sekarang?"
"Lena menginginkan sesuatu yang berbeda. Pekerjaan di belakang layar yang nggak menuntut Lena untuk berpenampilan keren sepanjang waktu. Nggak harus bermuka dua dan bermulut manis di depan klien, nggak usah berkeliling ke segala penjuru untuk memprospek nasabah, nggak usah merekrut agen sebanyak-banyaknya sampai kewalahan dan memotivasi mereka luar biasa hingga menjadi tempat curhat tentang hal-hal di luar pekerjaan seperti anak, istri, suami, dan lain-lain. Lena merasa luar biasa letih harus selalu bersikap dan berpenampilan sempurna. Lena ingin menjadi orang biasa-biasa saja...."
"Orang biasa?! Kamu lupa kita dulu harus berhemat mati-matian supaya mampu membeli makanan, pakaian, dan kebutuhan rumah tangga! Jarang sekali pergi ke mal karena takut uangnya nggak cukup untuk membeli ini-itu. Kamu lupa setiap dua tahun sekali pontang-panting mencari-cari rumah kontrakan baru karena yang kita tempati dinaikkan harga sewanya?! Kamu lupa dengan semua kepahitan yang kita alami karena menjadi orang biasa-biasa saja?!" teriak Soraya histeris.
BERSAMBUNG
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H