Seseorang yang memiliki ide-ide kreatif seringkali membuat kita takjub sekaligus bertanya-tanya.
Kok dia bisa sekreatif itu ya?
Kok aku gak bisa?
Kamu makan apasih? Kok bisa kreatif banget
Tentu kita semua menginginkan pikiran yang kreatif. Namun kenyataan tak seindah harapan, kebanyakan dari kita sulit untuk berpikir kreatif meskipun sangat menginginkannya.
Ciri dari kreatifitas adalah pemikiran yang divergen. Pemikiran divergen adalah pemikiran yang menghasilkan banyak jawaban atas pertanyaan yang sama, bahasa gaulnya pikiran yang "Out of the box". Bayangkan sebuah kotak, orang yang kreatif tidak berpikir sebatas ruang di dalam kotak melainkan memiliki pemikiran yang lebih luas, keluar dari kotak tersebut.
Bagi kita yang kurang kreatif biasanya memiliki pemikiran yang konvergen, yaitu pemikiran yang menghasilkan satu jawaban yang benar. Pikiran kita sebatas ruang di dalam kotak, yang penting sudah menemukan satu jawaban benar, buat apa mencari lagi jawaban yang lain?
Pada tahun 1945, psikolog Gestalt Karl Duncker membuat tugas untuk menguji kreatifitas pemecahan masalah yang dikenal dengan The Candle Problem. Duncker memberikan sekotak korek, sebatang lilin dan sekotak paku payung. Di sebuah ruangan terdapat meja yang letaknya merapat dengan dinding. Duncker kemudian memberikan instruksi, bagaimana cara menempelkan lilin yang menyala di dinding tanpa ada tetesan lilin cair di atas meja.
Beberapa tindakan diambil dalam menyelesaikan tugas tersebut. Ada yang mengambil lilin kemudian menempelkannya ke dindinng menggunakan paku payung dan adapula yang memanaskan sisi lain dari lilin kemudian menempelkannya ke dinding. Sayangnya kedua cara ini gagal, lilin tetap menetes di atas meja.Â
Lalu bagaimana caranya agar berhasil? Yang disediakan hanyalah lilin, sekotak paku payung dan korek untuk menyalakan lillin. Jujur saja, ketika pertama kali mendengar The Candle Problem saat perkuliahan, saya pribadi juga kebingungan bagaimana cara memasangnya.
Solusi kreatif dari tugas ini terletak pada se-kotak paku payung. Seluruh paku payung dikeluarkan dari kotak, kemudian kotak tersebut dipaku atau dipasang ke dinding. Yang terakhir, letakan lilin dikotak yang sudah terpasang, lilin yang mencair tidak menetes di atas permukaan meja.
Ketika pertama kali mengetahui solusi dari tugas tersebut (The Candle Problem), saya mengangguk-ngangguk sambil berkata: "Oh iya, kenapa tadi gak kepikiran sama kotak pakunya yah?". Lilin, sekotak paku dan korek terlalu menngalihkan perhatian saya.
Kasus yang sama seperti The Candle Problem pernah saya bahas di salah satu artikel saya. Dalam presentasinya di TEDx Talks, Teo Haren memberikan sebuah soal kepada audiens yang di tampilkaan di layar.
1-2-3-?
a. 4
b. 5
c. 8
satu, dua, tiga, apa angka selanjutnya? Yang sudah menemukan jawaban, angka tangan!
Rata-rata audiens telah menemukan jwaban selama tiga detik ketika soal ditampilkan, dan rata-rata jawabannya adalah empat. Namun Haren mengatakan bahwa empat memanglah jawaban yang benar, namun masih ada jawaban benar lainnya dan epat bukanlah jawaban yang kreatif.
Angka lima juga menjadi jawaban yang benar, bisa saja susunan tersebut adalah susunan bilangan prima 1-2-3-5. Â Kata Haren delapan adalah jawaban yang paling kreatif, karena angka delapan jika diputas 90 derajat akan membenntuk lambang infinity (tak terhingga), karena setelah angka tiga masih banyak angka setelahnya (tak hingga).
Sama seperti kasus The Candle Problem tadi, kenapa jawaban-jawaban kreatif tersebut tidak terlintas di benak kita? Ketika jawaban-jawaban yang kreatif tadi dijelaskan, kita hanya mengangguk dan takjub.
Kita terlalu terpaku dengan fungsi awal yang kita ketahui, sehingga mengabaikan fungsi-fungsi lain yang sebenarnya logis. Fenomena terbatasnya kemampuan kita dalam menemukan fungsi lain disamping fungsi asli dari suatu hal --adalah jenis dari bias kogniti yang dikenal dengan Functional Fixedness. Fenomena ini sangat mempengaruhi kita berpikir kreatif dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan.
Contohnya dalam kasus The Candle Problem tadi, kita mungkin terlalu terpaku dengan kotak yang fungsi aslinya adalah wadah dari paku payung, sehingga tidak terpikirkan oleh kita menggunakannya untuk meletakan lilin.
Peserta yang diperlihatkan contoh visual cenderung menyesuaikan ide mereka dengan contoh, bahkan setelah menyelesaikan tugas distraktor sebelum menghasilkan solusi mereka, atau diinstruksikan untuk menghindari mereproduksi solusi contoh (Smith, Ward, & Schumacher, 1993; Ward, Patterson, & Sifonis, 2004)---dalam Creative Enlightenment (medium.com)
Penyajian contoh secara visual juga mempengaruhi pikiran kita. Kita menganggap contoh yang disajikan adalah hal yang benar (satu-satunya), sehingga dalam memecahkan suatu masalah kita akan mengasosiasikan atau menghubungkan pikiran kita dengan contoh sebelumnya. Ujung-ujungnya ide yang kita pikirkan sebatas "gitu-gitu aja"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H