Bias Konfirmasi Ada di Setiap Orang, yang Liberal hingga Konservatif
Awalnya saya mengira bias ini hanya terjadi pada orang-orang yang konservatif saja. Nyatanya, setiap orang bisa mengalami. Bahkan ketika kita memiliki pengetahuan tentang  bias konfirmasi bukan berarti kita tidak akan berpikir bias, mungkin kita hanya berusaha menghindari, namun kita tidak benar-benar terhindar.
Seorang dokter juga berpeluang mengalami konfirmasi bias saat mendiagnosis pasiennya. Ketika Dokter menanyakan gejala yang terjadi pada pasien, iya akan membuat dugaan awal---misalnya penyakit X. Namun dengan pikiran bias, Â selanjutnya dokter hanya akan menanyakan gejala-gejala yang sesuai dengan penyakit X dan mengabaikan gejala-gejala lainnya.
Bias konfirmasi sering terjadi di saat pemilu. Misalnya Pemilihan Presiden pada tahun 2019 lalu, orang yang mendukung pak Prabowo akan cenderung mencari tahu prestasi dan kebaikan pak Prabowo, dan mengabaikan kekurangan beliau. Tidak sedikit juga pendukung pak Prabowo yang membenci pak Jokowi selaku lawan, sehingga mereka lebih cenderung mencari kekurangan-kekurangan pak Jokowi. Begitu juga dengan pendukung pak Jokowi, mereka akan cenderung mencari-cari kebaikan pak Jokowi dan juga mencari-cari kekurangan pak Prabowo.
Kenapa kita percaya HOAX?
Di zaman digital seperti sekarang ini, informasi dengan sangat cepat beredar. Kemampuan kita yang minim dalam memilah dan memilih berita membuat kita lebih mudah termakan Hoax. Bias konfirmasi juga membuat kita percaya terhadap berita Hoax. Misalnya seseorang dengan keyakinan atau dugaan A, tiba-tiba ia menemukan sebuah berita yang mendukung dugaannya (padahal berita tersebut adalah Hoax). Karena pikirannya yang bias, ia langsung terlanjur percaya. Ia juga tidak memperdulikan berita yang fakta, karena akan bertolak belakang dengan dugaannya. Dan buruknya, demi membuktikan ia benar malah di-share ke grup keluarga.
Beberapa bulan terakhir juga ada Hoax berupa pamflet seminar tentang politisi M dan N yang akan mencalonkan diri di pilpres selanjutnya. Kebetulan saya melihat di story whatsapp seorang teman, dengan caption story menggunakan emoticon marah. Kebetulan ia sedikit kontra dengan politisi tersebut. Kemudian saya bertanya:
"Ini beneran seminarnya? Gak hoax kan?"
"Sepertinya benar"
"Kok sepertinya?"
Sayapun mencari tahu kebenaran pamflet tersebut. Dan ternyata benar-benar HOAX. Saya mengirim beberapa berita ke teman saya tadi, dengan harapan ia menghapus story HOAX, tapi ia malah tidak menghapusnya. Buruknya, ketika saya hendak mengecek story WhatsApp, sudah ada beberapa orang yang membuat story hasil repost teman saya sebelumnya.
Referensi:
How Confirmation Bias Works (Verywellmind)
What Is Confirmation Bias? (Psychology Today)