Mohon tunggu...
Soetrisno Bachir
Soetrisno Bachir Mohon Tunggu... -

Lahir dan besar di Pekalongan dari keluarga pedagang batik. Bapak yang NU dan Ibu yang Muhammadiyah. Menjadi manusia dan menjalani hidup adalah sebuah proses pencarian tujuan utama yang bernama Tuhan. Mudah-mudahan segala aktivitas yang saya jalani sekarang dan yang akan datang, selalu masih dalam kerangka proses pencarian itu.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Budaya Politik dan Politik yang Berbudaya

6 Januari 2010   06:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:36 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_49212" align="alignright" width="200" caption="Ilustrasi-admin (shutterstock)"][/caption]

Kekhawatiran adanya benturan peradaban yang dulu sempat diramalkan seorang Samuel Huntington tidak sepenuhnya terbukti. Ada yang lebih mengkhawatirkan daripada sekedar benturan peradaban tersebut. Yaitu keadaan dunia itu sendiri yang makin menua dengan bebannya yang makin berat.

Permasalahan dan isu yang ada menunjukkan segudang permasalahan kemanusiaan. Mulai ledakan penduduk dunia yang tidak terkontrol, tingkat kematian ibu dan anak yang masih tinggi, jumlah penderita HIV, penyakit pandemi yang disebabkan virus seperti H5N1, krisis pangan hingga benturan keras perebutan sumber daya alam antar bangsa melalui perusahaan-perusahaan swasta yang mewakilinya. Isu yang terbaru dan membawa dampak langsung pada kehidupan manusia adalah perubahan iklim dikarenakan adanya global warming, hutan tropis yang berkurang, dan mencairnya es di kutub. Adanya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan tergilasnya budaya dan kearifan lokal berganti dengan penetrasi budaya bangsa lain, ini juga sebuah permasalahan serius.

Bangsa-bangsa lain begitu perhatian terhadap isu-isu ini. Berusaha merespon dan mengatasi permasalahan. Sigap menyiapkan bangsanya untuk mengantisipasi dan terus meningkatkan daya saingnya dibanding negara lain di dunia. Sementara Indonesia masih terikat dan terpenjara dengan keadaannya sendiri. Semua hal dipolitisasi dengan berbagai tujuan untuk kepentingan pragmatis jangka pendek.

Melihat keadaan Indonesia sekarang ini, sepertinya bangsa yang sebenarnya besar ini belum siap untuk menjadi bangsa dan negara maju. Bangsa yang maju adalah apabila peran pemerintah tidak dominan. Kenyataannya, di bumi Nusantara ini peran negara sangat dominan. Atau bahkan rakyat tidak terlalu terpengaruh ada atau tidaknya sebuah pemerintahan. Meminjam istilah Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) Allah telah menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang luar biasa menakjubkan. Siapapun pemerintahnya, bagaimana cara memerintahnya, kenyataannya rakyat tetap mampu hidup cari makan sendiri.

Rakyat yang telah lama menyelesaikan masalahnya sendiri belakangan digiring untuk mengikuti sebuah perhelatan akbar yang bernama politik. Melek politik adalah sebuah keharusan. Namun tidak perlu juga masyarakat menjadi partisan hanya gara-gara politik dan menghabiskan energinya di ranah ini. Partisan membuat masyarakat terkotak-kotak. Lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau golongan daripada kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa.

Kita tidak tahu persis kenapa ini terjadi di sebuah bangsa yang mengaku Berketuhanan yang Maha Esa. Sederet permasalahan rasanya tidak akan pernah berhenti mengantri untuk diselesaikan. Mulai hilangnya semangat kebangsaan, hukum yang sudah kehilangan keadilannya, moralitas yang dipertanyakan hingga makin lemahnya daya saing bangsa Indonesia di mata dunia. Budaya feodal yang menganggap pemimpin sebagai wakil tuhan yang tidak pernah salah dan adanya sikap pejah gesang ndherek panjenengan serta sikap yang pasrah dan nrimo yang fatalis adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama.

Belum lagi keadaan dimana orientasi pada materi cenderung berlebihan. Bisa jadi Indonesia menjadi bangsa paling materialistis di dunia. Sehingga banyak yang menempuh berbagai cara untuk mengakumulasi simbol-simbol keberhasilan materi. Akhirnya menggunakan jalan pintas dan korupsi dipandang sebagai hal yang lumrah dan biasa. Bahkan seorang koruptor pun sudah tidak merasa hina dan malu. Lembaga publikpun dibelokkan untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Inilah yang menjelaskan kenapa lembaga publik sering tidak berfungsi sebagamana mestinya.

Dan yang mengkhawatirkan adalah politik tidak didedikasikan untuk memperjuangkan kepentingan publik (rakyat). Namun masih sekadar dijadikan sebagai alat berebut kekuasaan. Politik sebagai kendaraan untuk memperebutkan kekuasaan ini sudah membudaya di bangsa ini. Adalah biasa apabila dalam pergantian pengurus sebuah partai atau organisasi selalu sibuk dengan keributannya sendiri. Ini terjadi karena adanya orientasi kekuasaan yang diperebutkan. Bahkan tidak segan menggunakan cara-cara yang mengingkari hati nurani. Menghabisi lawan baik secara fisik maupun menghabisi karakternya (character assassination). Fatsun dan kesantunan berpolitik telah mulai bergeser.

Budaya politik yang elegan dan santun menjadi budaya politik yang Machiavelis. Politik jadi memuakkan dimata rakyat karena sering diikuti oleh intrik kekuasaan dan gelimang uang yang dipertanyakan asal usulnya. Sistem demokrasi yang kita ambil sepertinya menyisakkan banyak pertanyaan. Apakah masyarakat kita sudah siap dengan sistem demokrasi seperti sekarang yang kebablasan. Nilai demokrasi yang awalnya baik, bisa berubah karena dinodai perilaku para politisinya sendiri.

Ini semua terjadi karena adanya ketakutan-ketakutan. Takut kalau kehilangan jabatan dan kedudukan. Takut kehilangan materi. Takut kalau kehilangan pengaruh dan kekuasaan. Budaya takut inilah yang sekarang ini merasuk dan menyelimuti hati bangsa Indonesia.

Simpul kesadaran spiritual baru

Dengan mengambil semangat 1 Muharram 1431 H dan 1 Januari 2010 kita semua berharap adanya hijrah dan transformasi berupa munculnya sebuah simpul kesadaran spiritual baru. Simpul kesadaran ini bisa ada dimana saja, di kelompok masyarakat apa saja. Tidak tersekat pada agama, suku, golongan, maupun partai politik tertentu.

Simpul kesadaran spiritual baru mempunyai kesadaran yang sama didorong oleh nilai-nilai ilahiah yang universal untuk memperjuangkan dan membela sebuah kebenaran. Tidak ada rasa takut pada siapapun maupun dalam keadaan apapun. Menggunakan hati sebagai cermin untuk berkaca dalam setiap mengambil keputusan dan tindakan. Kekuatan yang seperti ini tidak ada yang mampu membendungnya. Solidaritas sosial yang tumbuh dari masyarakat dan terus berkembang tanpa ada yang kuasa menghentikannya. Simpul kesadaran spiritual itu terbukti mampu menggalang kekuatan bersama. Seperti kekuatan masyarakat yang meminta mengusut kasus Bibit-Chandra, kasus Prita, hingga kasus Mbah Minah dan tiga butir kakaonya. Dan sekarang tinggal menunggu kasus Century. Apabila ada ‘ketidakberesan’ dalam mengungkap kasus ini, yang dihadapi adalah kekuatan rakyat. Rakyat akan melawan dengan kekuatan spiritual yang tidak akan bisa dilumpuhkan.

Simpul kesadaran spiritual baru adalah sebuah kesadaran yang mampu mencerabut dirinya dari seluruh hiruk pikuk yang terjadi untuk melihat secara keseluruhan dengan cara pandang yang jernih dan komprehensif (helicopter view). Sehingga mampu melihat sebuah kebenaran secara obyektif dan berpihak pada kebenaran itu sendiri. Menempuh jalan spiritual bukanlah pelarian dari hiruk pikuk permasalahan itu sendiri. Ini adalah kontemplasi sebagai sebuah perjalanan (suluk) untuk menjemput jalan terang dari Tuhan. Mempersiapkan diri agar layak menjadi refleksi nilai-nilai Tuhan.

Kekuasaan itu dipergilirkan. Tuhan memberikan kekuasaan kepada yang dikehendaki dan mencabut kekuasaan dari yang Dia kehendaki. Apabila melihat ini, kekuasaan adalah bukan sesuatu yang harus diperebutkan dengan cara-cara yang hina. Melainkan dijalankan dengan tetap mengemban amanah dari yang memberi kekuasaan itu sendiri yaitu, yang Maha Kuasa. Ketika berpolitik pun orientasinya bukan semata-mata untuk kekuasaan. Ada tujuan yang lebih dari itu, yaitu sebagai sebuah perjalanan untuk menjemput jalan terang dari Tuhan. Kalau jalan spiritual yang ditempuh, yang ada adalah politik yang santun, elegan, berbudaya penuh dengan keshalehan sosial bukan budaya politik seperti sekarang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun