Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Jejak Luka dan Cahaya Setan di Ujung Jalan

29 Januari 2025   11:38 Diperbarui: 29 Januari 2025   11:41 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pak Ahmad Zajuli tidak terima. "Perempuan murahan seperti Susan seharusnya tahu menjaga diri! Ini salah orang tuanya! Bagaimana bisa membiarkan anak gadisnya liar?" katanya lantang, di depan rumah, tanpa sedikit pun rasa empati.

Wajah Hasan memerah. Hatinya mendidih. Ingin sekali dia melayangkan kepalan tangannya ke wajah laki-laki yang selama ini dia hormati sebagai ustaz. Namun, Pak RT dan Pak RW sigap menahannya.

"Hasan, ini bukan jalannya," bisik Pak RT menenangkan.

Sementara, Andre -biang huru hara ini hanya bisa mendengar semuanya dari balik pintu.

Biasanya di jam seperti ini dia diam-diam asyik menonton video porno dilayar gawainya  dengan gelisah.

Tapi kali ini tidak sekedar gelisah.
Andre ketakutan, rasa bersalah, dan tekanan yang terus-menerus menghancurkan hatinya. Ter-teror dosanya sendiri, dahsyat menghantam jiwa.

Jelang Subuh, Duka Itu Datang

Langit belum sepenuhnya terang saat jeritan terdengar dari dalam rumah Pak Ahmad Zajuli. Para tetangga segera berlarian mendekat. Di dalam kamar mandi, Andre ditemukan tergantung dengan belitan sarung di lehernya. Lidahnya terjulur, matanya melotot.

Dr. Fatimah jatuh tersungkur di lantai, menangis histeris. Sementara Pak Ahmad Zajuli hanya berdiri kaku. Wajahnya yang biasanya penuh wibawa kini pucat pasi.

Berita itu menyebar lebih cepat dari angin pagi. Susan, yang mendengar kabar itu, jatuh terduduk. Tangisnya pecah.

Sejak hari itu, Susan hampir tidak pernah berhenti menangis. Perutnya yang semakin besar terguncang seiring isakannya. Namun, dia tahu, dia harus menghadapi kenyataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun