Pak Ahmad Zajuli tidak terima. "Perempuan murahan seperti Susan seharusnya tahu menjaga diri! Ini salah orang tuanya! Bagaimana bisa membiarkan anak gadisnya liar?" katanya lantang, di depan rumah, tanpa sedikit pun rasa empati.
Wajah Hasan memerah. Hatinya mendidih. Ingin sekali dia melayangkan kepalan tangannya ke wajah laki-laki yang selama ini dia hormati sebagai ustaz. Namun, Pak RT dan Pak RW sigap menahannya.
"Hasan, ini bukan jalannya," bisik Pak RT menenangkan.
Sementara, Andre -biang huru hara ini hanya bisa mendengar semuanya dari balik pintu.
Biasanya di jam seperti ini dia diam-diam asyik menonton video porno dilayar gawainya  dengan gelisah.
Tapi kali ini tidak sekedar gelisah.
Andre ketakutan, rasa bersalah, dan tekanan yang terus-menerus menghancurkan hatinya. Ter-teror dosanya sendiri, dahsyat menghantam jiwa.
Jelang Subuh, Duka Itu Datang
Langit belum sepenuhnya terang saat jeritan terdengar dari dalam rumah Pak Ahmad Zajuli. Para tetangga segera berlarian mendekat. Di dalam kamar mandi, Andre ditemukan tergantung dengan belitan sarung di lehernya. Lidahnya terjulur, matanya melotot.
Dr. Fatimah jatuh tersungkur di lantai, menangis histeris. Sementara Pak Ahmad Zajuli hanya berdiri kaku. Wajahnya yang biasanya penuh wibawa kini pucat pasi.
Berita itu menyebar lebih cepat dari angin pagi. Susan, yang mendengar kabar itu, jatuh terduduk. Tangisnya pecah.
Sejak hari itu, Susan hampir tidak pernah berhenti menangis. Perutnya yang semakin besar terguncang seiring isakannya. Namun, dia tahu, dia harus menghadapi kenyataan.