Cerpen  |  Jejak Luka dan Cahaya Setan di Ujung Jalan
DikToko
(Soetiyastoko)
Hujan turun dengan derasnya malam itu. Di sebuah rumah sederhana di ujung gang, Susan terduduk di sudut kamar, tangannya meremas ujung bantal, bahunya terguncang. Tangisnya tertahan di tenggorokan, matanya sembab. Dalam dirinya ada perasaan yang sulit dia uraikan. Rasa bersalah, takut, dan sedih yang bercampur menjadi satu.
Ayahnya, Pak Hasyim Ansyari, duduk di ruang tamu dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya saling menggenggam erat. Istrinya, Ibu Aisyah Fatonah, memijat pundak sang suami, mencoba menenangkan. Namun, wajahnya sendiri penuh ketegaran yang dipaksakan.
Di tempat lain, dalam rumah besar dekat pintu masuk gerbang perumahan, suasana jauh berbeda. Rumah Pak Ahmad Zajuli, seorang penceramah agama yang dihormati, kini penuh ketegangan. Andre duduk di ruang tengah dengan kepala tertunduk. Lalu turun ke lantai  mencoba mencium kaki Ayahnya.
Amarah itu seakan mendikte Pak Ahmad untuk  terus berjalan mondar-mandir dengan wajah merah padam.
"Ini salah ibumu!" bentaknya, menuding istrinya, dr. Fatimah, yang berdiri dengan wajah letih. Andre tak kunjung bangkit dari sujud di depan ayahnya.
"Kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu! Kau abaikan anak kita sampai dia jatuh dalam dosa besar!"
Dr. Fatimah tak membantah. Matanya basah, tetapi dia menahan diri. Dia tahu, suaminya mencari seseorang untuk disalahkan, bukan untuk memahami.
Sementara itu, Andre sang anak kesayangan, hanya bisa menelan ludah dan menangis.
Setiap hari, setiap waktu, sejak masalah itu tersingkap, Â dia dibentak-bentak, disalahkan, dimarahi, dihakimi, bahkan oleh orang-orang di sekitar rumahnya.
Para tetangga berbisik di sudut-sudut gang. Berita tentang Susan yang hamil karena Andre sudah tersebar ke seluruh RW.
Hari itu, Hasan Sabirin, kakak Susan, datang bersama Pak RW dan Pak RT untuk meminta tanggung jawab.