Cerpen  |  Melodi Sunyi Di Antara Cahaya dan Bayang-Bayang Jakarta
DikToko
(Soetiyastoko)
Senja mulai merambat turun ketika aku duduk di dalam mobil inventaris-ku yang baru, ada rasa suka dan kecewa datang bersamaan.
Mobil inventaris yang baru ini jok kulit sapi dan kaca spion dalamnya masih terbungkus plastik. Spek-nya setingkat lebih tinggi dari mobil yang kemarin.
Hal yang mengecewakan-ku, perusahaan tak lagi menyediakan sopir khusus untukku. Aku  mulai hari ini harus nyetir sendiri.
Tak bisa lagi membolak-balik berkas kerjaan kantor atau menulis artikel di tablet, di jok kiri belakang.
Hasrat-ku untuk protes ke Dewan Komisaris atau Direktur utama, setelah kupikir berulang-kali, kutahan. Tak jadi kusampaikan, setelah ingat gaji-ku pun sudah dinaikkan signifikan.
Mestinya, aku bersyukur.
Biasanya aku tak peduli suasana perjalanan pulang, di mobil nyaris selalu ada aktivitas produktif-ku.
Tapi senja ini selain memandang mobil-mobil di depanku, kulihat kerlip lampu-lampu gedung di Jalan Sudirman.
Gedung-gedung tinggi seperti raksasa sombong, penjaga perkotaan.
Kaca-kacanya memantulkan kilauan cahaya yang berbaur dengan langit senja yang memerah.
Mesin mobilku mulai berbisik pelan, suara jazz dari Ermy Kulit mengalun lembut mengisi kabin. Lagu-lagu jazzy ini seakan meredakan kebisingan Jakarta sore itu, meski lalu lintas tampak padat dan mobil-mobil antri keluar gedung parkir.
Aku mengikuti arus, perlahan meninggalkan gedung dan bergabung dengan mobil-mobil lain yang merayap di jalan raya. Lampu-lampu jalan mulai menyala, memberikan pendar kekuningan yang membuat suasana terasa melankolis.