Paru-paru-ku, ku-isi penuh-penuh. Sampai tak ada yang bisa kujejalkan lagi.
Pelan-pelan kuhembuskan, diiring istiqfar. Astaqfirullah, astaqfirullah, astaqfirullah, ...
Suaranya makin tinggi, temponya makin cepat, wajahnya tampak beringas. Ketika kalimatnya, kucoba sela.
Dia bilang, "itu cuma sampah. Sampah. Kenapa saya harus menyimpan sampah ?!" Ludahnya muncrat, sudut-sudut bibirnya kini berbusa.
Kali ini, aku tak peduli, dia dengar atau tuli, nada-ku terpaksa mengimbangi.
"Benar, Pak .... dus-dus paket itu isinya sachet bekas bungkus kopi. Tapi adik saya yang mengirim dari Jakarta itu, sudah bayar lunas biayanya. Bahkan dengan tarif kilat, ..."
Kucoba  untuk tenang, lalu kuteruskan,
"Semua itu, demi anak-anak kampung kita di sekolah, belajar memanfaatkan limbah, sekaligus hasilnya dikumpulkan ke usaha UMKM, ...".
Aku ambil nafas panjang lagi
"Bapak pasti juga sudah tahu, ... Barang-barang karya anak-anak itu dijual dikios-kios dekat air terjun. Lokasi wisata yang baru dikembangkan di kampung ini".
Aku tak peduli dia ngomong apa, aku terus ngomong lagi.