Indonesia berlambangkan Merah-Putih. Merah diasosiasikan dengan berani, Putih diartikan sebagai suci. Pada pemahaman lain Putih diartikan sebagai tulang pada manusia dan Merah diartikan sebagai darah untuk menggambarkan mendalamnya kesatuan manusia Indonesia dengan lambang Merah-Putih pada bendera Indonesia.
Pada perspektif tertentu Merah-putih sebenarnya cuma bendera belanda yang dirobek warna biru.
Tidak ada proses kreatif yang mendalam untuk menentukan bahwa bendera yang mewakili bangsa Indonesia adalah merah putih. Maupun bukti sahih yang populer untuk memaknai filosofi kebangsaan merah dan putihnya Indonesia.
Saya, termasuk generasi ketiga pasca kemerdekaan Republik Indonesia pada umumnya saat ini mungkin hanya penerima buta pensakralan atas merah-putih.
Sementara biru padahal sebenarnya warna favorit saya. Bahkan termasuk warna favorit yang paling banyak disukai orang di seluruh dunia.
Biru menggambarkan kenetralan. Warna langit yang umum berlangsung terjadi di Indonesia. Yang tidak seperti di Belanda justru, jarang mengalami langit biru.
Kenapa bukannya merahnya bendera belanda yang dirobek, sehingga bendera Indonesia akan menjadi Putih-biru.
Banyak penjelasan canggih sebenarnya mengenai pemilihan Merah-putih sebagai bendera Indonesia.
Tapi jika dipikir secara sederhana, proses memerdekakan Indonesia, secara nasional yang berlangsung singkat, tidak cukup untuk menjelaskan asal-usul Merah-Putih yang pada penjelasan canggih tersebut salah satunya diasosiasikan dengan lambang majapahit.
Jepang juga memiliki bendera merah putih dengan kontur yang berbeda.
Tapi bagi Jepang sendiri, kesan putih lebih dominan mewakili negaranya.
Jarang ada Kimono berwarna merah misalnya. Atau kertas warna merah dan bangunan atau shoji warna merah yang ada di jepang.
Merah rasanya tidak terlalu menggambarkan budaya jepang.
Sebaliknya Indonesia sebagai Negara yang pada inisiasi existensinya sangat dipengaruhi Jepang, cukup berasosiasi dengan merah.
Merah dengan asosiasinya sebagai panas dan marah, cocok ditanamkan sebagai identitas bangsa Indonesia yang hot-headed dan berada di iklim tropis yang panas.
Merah juga diasosiakan dengan PKI dan pembantaian atas kaum PKI pada dimensi poltik Indonesia pada perjalanan Indonesia kesininya.
Dengan benderanya yang merah serta detail setetes darah pada benderanya, Pameo “Darah itu merah Jenderal!” bertumbuh mendalam pada generasi generasi ketiga pasca kemerdekaan Republik Indonesia pada umumnya saat ini dari film propaganda “G30S/PKI” yang wajib ditonton selama puluhan tahun setiap tanggal 1 Oktober di TVRI, untuk, secara tidak langsung, menggambarkan kekejian “merah” dan PKI.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dibentuk kemudian pada Orde baru selalu menjadi partai yang memiliki perolehan suara terendah selama berpuluh-puluh tahun berlangsungnya Pemilu orde baru.
Belakangan, pasca reformasi, termasuk hari ini, warna merah yang menyeramkan itu justru semakin exis dipilih sebagaiwarna yang melambangkan partai.
Selain PDI-P sendiri saat ini yang merupakan wujud transformasi PDI, Hanura dan Gerindra juga didominasi warna merah sebagai semangat yang mendasari existensinya di politik.
Dan kebetulan ketiganya bukanlah partai pendukung pemerintah saat ini dari seluruh partai yang ada.
Mungkinkah ada relasi antara ketidakmelekatannya warna partai-partai tersebut dengan pembangunan dan kepercayaan Indonesia saat ini
Sebagai partai-partai yang justru menonjol pada pengesahan partai peserta pemilu 2014, pasca berakhirnya pemerintahan SBY yang tidak mungkin dipilih kembali dengan demokratnya, PDIP, Gerindra dan Hanura mungkin melambangkan temperamen bangsa Indonesia saat ini.
Demokrat juga memiliki unsur merah pada lambang partainya, tapi warna yang mewakili adalah warna biru, sehingga rasanya tidak banyak konflik yang benar-benar signifikan selama berlangsungnya pemerintahan Partai biru ini.
Pun Golkar, dengan warna kuningnya yang dulu memerintah pada orde baru.
Siklus pertumpahan darah besar terjadi ketika warna merah mulai masuk ke benak public, seperti ketika Indonesia merdeka di 1945 dan berperang dengan Belanda, PKI yang dijadikan musuh bersama dan menimbulkan pembantaian besar-besaran di 1966, serta PDIP yang memanas sebagai partai yang mengakibatkan pelanggaran HAM berat di 1997-1998. Bahkan ketika terjadi pembantaian masyarakat Timor timur yang ketika itu didominasi warna merah dan hitam partai fretilin dan lainnya.
Jika PDIP, Gerindra dan hanura akan menjadi dominan mungkinkah kengerian atas terjadinya pertumpahan darah yang besar terjadi lagi di Indonesia ke depannya?
Benak bawah sadar itu penting. Meski mengkampanyekan demokrasi dengan massif,dengan begitu banyaknya hal yang tertutupi dan dikbur ke dalam bawah sadar masyarakat Indonesia atas kebenaran yang di depan mata saat ini, ke depannya mudah-mudahan Indonesia akan aman-aman saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H