Awalnya Kartini hanya duduk saja di teras pendopo kabupaten Demak. Maklum di sana ia baru pertama mengikuti pengajian yang diadakan sebulan sekali. Tetapi oleh Kiyai Saleh Darat ia diminta untuk masuk agar bisa mendengarkan ceramah lebih seksama. Detik demi detik Kiyai Saleh berceramah. Ia membawakan tema tentang makna surat al Fatihah dengan bahasa Jawa halus.
Kartini terkesan. Penjelasan Kiyai tentang makna surat al-Fatihah yang gamblang dan runtut membuka cakrawala hati dan pikirannya. Usai pengajian Kartini mendekat dan berkata:
“Rama Kiyai, maafkanlah keberanian saya ini, karena saya perlu menghaturkan terima-kasih atas keberanian Rama Kiyai menerjemahkan surat al-Fatihah dalam pengajian awam di sini. Kiyai lain tidak berani melakukan ini karena al-Quran dilarang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa bagi orang awam.”
“Hemat saya,” lanjut Kartini: “Al Quran diwahyukan kepada Nabi justru agar menjadi panutan hidup manusia di muka bumi ini. Karenanya manusia perlu sekali mengerti, dibuat mengerti dengan mudah apa kata al-Quran dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa kebangsaan manusia masing-masing. Rama Kiyai telah merintis jalannya, justru mulai pagi ini, titik mulai pergantian gelapnya malam dengan terangnya siang hari…”
Dua tahun kemudian R.A. Kartini menikah dengan RM Joyodiningrat bupati Rembang. Sebagai kado pernikahan kiyai Saleh menghadiahkan kitab karangannya sendiri “Faidhl al Rahman” yang mengupas surat al-Fatihah. Di kemudian hari mengalirlah surat-surat Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang selanjutnya mengisi khasanah emas sejarah bangsa.
Adapun KH Muhammad Shalih bin Umar as-Samarani, terkenal dan akrab dengan nama KH Saleh Darat, adalah ulama terkemuka di peralihan abad 20 yang menjadi guru para ulama Jawa terkemuka generasi berikutnya.
Refleksi:
Bagi Ibu Kartini membaca Al Quran adalah untuk memahami isi substansinya dengan akal sehat, mengamalkannya dengan sungguh-sungguh, dan menyosialisikannya dengan hati terbuka. Beliau ingin agar umat Islam memahami Al Quran dengan jiwa merdeka dan tidak menggunakan pikiran orang lain.
Memang demikianlah haqqa tilawah atau membaca Al Quran dengan benar, sesuai dengan syari’ah dalam Al Quran.
Membaca Al Quran bukan sekedar untuk ritual, bertajwid-tajwid, bertilawah-tilawah, bertadarus, mantra dan mistik, dsb. Masih ada orang Islam yang memasang kaligrafi ayat-ayat Al Quran di dinding rumah atau di atas pintu, konon untuk tolak bala.
Harus kita akui bahwa salah satu sebab utama penderitaan dan keterpurukan umat Islam di mana-mana adalah karena mereka tidak memahami Al Quran sebagai jalan hidup.
Wassalam.
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H