Kota Batu. Di setiap sudut Batu. Bertemu orang berhati Batu. Berkepala Batu. Setiap bicara selalu tentang Batu.
Kota Batu. Di mall-mall yang terbuat dari Batu. banyak juga penjual Batu. batu purba bernama diamond, ruby, saphire, yang warnanya berkilat cahaya. Pembelinya adalah pemuja Batu.
Kota Batu. Di Jalan-jalan yang terbuat dari Batu. ribuan kendaraan berdesak-desak di pagi hari menuju menara batunya sendiri-sendiri. Dan kembali di malam hari ke rumah batunya sendiri-sendiri. seperti ritual dari hari ke hari.
Manusia Batu tidak pernah menangis dan senyumnya sepalsu hatinya yang sudah membatu. jiwanya hampa dan merana. di kejarnya ‘kesenangan’ namun yang didapatnya selalu kekosongan tak bermakna.
Manusia Batu menyukai perulangan. di dorongnya batu ke puncak bukit kemudian batu jatuh di sisi bukit yang lain. di dorongnya kembali berulang-ulang, karena dalam perulangan dia dapat melupakan kekosongan. kekosongan membuatnya takut akan kesendirian. karenanya manusia batu juga menyukai keramaian.
Tetapi di Kota Batu juga banyak terdapat manusia tanah, anak-anak ibu pertiwi yang selalu ikhlas tanpa pamrih memberi, seperti bumi yang memberi makan penghuninya setiap hari sepanjang abad meski selalu di dzalimi bukan sekedar di injak namun di rusak. seringkali ibu pertiwi marah atas izin sang Maha Pencipta mengoncang dirinya, mengeluarkan isi perutnya berharap manusia tahu dan menghukum para perusak, namun tak ada yang marah pada para perusak bumi. sebagian karena tanah telah membatu dan manusia membatukan pikirannya tanpa perasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H