Mohon tunggu...
Soesi Sastro
Soesi Sastro Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Sosial dan Lingkungan

The secret of change is to focus all energy not on fighting the OLD but on building the NEW

Selanjutnya

Tutup

Money

Saudara Sebangsa Setanah Air, Aku Ingin Pintar Juga

17 Oktober 2015   19:02 Diperbarui: 17 Oktober 2015   20:48 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah formal saat ini masih diyakini sebagai pendidikan sah yang mampu merubah kehidupan masyarakat kita. Demikian pula anggapan para orangtua dan anak-anak di kampung Taburi, Distrik Kais, Sorong Selatan Papua Barat.

Taburi adalah nama sebuah kampung terletak ditepi sungai, yang untuk mencapainya dahulu memerlukan pengorbanan jalan darat, laut dan sungai dari Teminabuan ibukota Kabupaten Sorong Selatan. Kini dengan adanya pabrik pengolahan sagu milik Perhutani di desa mereka dan jalan tembus yang dibuka pemerintah sepanjang 8,5 kilometer, Taburi seolah siap menggeliat bangun dari tidurnya.

Anak-anak sebagian tetap antusias berangkat ke sekolah meskipun guru jarang hadir kata mereka. Demikian juga di sekolah SMK partikelir yang didirikan swasta, meskipun ruang kelas gelap, mereka tetap menunggu kehadiran para guru yang mereka puja.

Semua anak-anak itu ketika ditanya selalu saja jawabnya ingin menjadi guru, perawat, pegawai kantoran. Mengapa ingin menjadi pegawai kantoran. Pegawai kantor enak, tidak capek dan hanya tanda tangan saja dapat uang, begitu jawab mereka. Jawaban mereka sah-sah saja, mereka toh mendengar dari cerita-cerita atau barangkali melihat langsung sehingga dalam benaknya menjadi pegawai itu enak.

Ketika ditanya ingin menjadi petani tidak? Diantara anak-anak itu tidak ada yang mau menjadi petani atau peternak. Mengembangkan ternak babi, ayam atau kambing untuk kebutuhan karyawan pabrik misalnya, belum ada dalam gambaran mereka. Mereka ingin bekerja di kantor pabrik sagu kelak. Demikian juga para orangtua, mereka tentunya membutuhkan fasilitasi dan penguatan-penguatan dalam rangka menyongsong keterbukaan daerahnya. Jangan sampai ujung-ujungnya mereka menjadi tamu di negeri sendiri.

Cita-cita anak-anak cukup bagus, mulia, hanya saja dukungan untuk mewujudkan cita-cita itu yang sewajibnya menjadi tanggungjawab Negara atau pemerintah.

Pembangunan fisik yang terus digencarkan sampai pelosok-pelosok negeri memang perlu dan bagus, tetapi pembangunan manusianya juga tidak kalah penting. Hanya dengan membangun manusia sejak dini dengan baik dan benar maka sebuah bangsa akan menjadi bedsar dan tangguh. 

Anak-anak di kampung Taburi itu adalah anak-anak bangsa juga, masa depan Negara ini juga. Berdasarkan UUD 1945 mereka punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pendidikan yang sehat, terarah bukan pendidikan bebas berasal dari internet yang kadangkala kita tidak tahu sumbernya benar atau tidak. Mereka adalah saudara sebangsa setanah air yang ingin pintar juga seperti anda semua para pembaca. ( SOE/2015)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun