Mohon tunggu...
soeryo riani
soeryo riani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Industri Halal

Ekonomi, bisnis dan industri halal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tren Memberi Hadiah kepada Guru, Hedonisme, dan Impulse Buying dalam Islam

16 Juli 2023   21:21 Diperbarui: 16 Juli 2023   21:50 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat beberapa postingan di media sosial sekarang ini banyak sekali postingan yang menunjukkan kegiatan di akhir semester para siswa-siswi disekolahan dimanapun berada, dimana wali murid memberikan hadiah sebagai tanda terimakasih kepada guru atas apa yang sudah diberikan untuk anak-anak mereka.

Namun bagaimana jika yang terjadi adalah ketika wali murid itu terus-terusan memberikan hadiah kepada Guru dengan maksud tertentu dimana di dalam Islam menyebutnya sebagai ghulul atau suap. Atau bisa juga sebagai ajang wali murid memamerkan kekayaan keluarga.

Melihat Gaya hidup mayoritas masyarakat Indonesia sekarang ini memang gaya hidup yang berfokus mencari kesenangan dan kepuasan tanpa batas atau biasa kita dengar dengan istilah Hedonisme.

Kalau menurut saya pribadi memberi hadiah kepada Guru atau siapapun itu orangnya tidak menjadi masalah atau menjadi hal yang wajar karena hadiah tersebut diberikan setelah penilaian dengan besaran yang standar dan tidak besar, sebagai wujud apresiasi wali murid kepada guru.

Namun bagaimana jika dalam beberapa kasus ketika memberi hadiah kepada guru secara berkala kemudian hal tersebut menjadi bahan pertimbangan guru dalam memberikan penilaian kepada murid tersebut atau bisa kita sebut guru sudah tidak Objektif atau sikap wara' maka itu bisa kita sebut sebagai bentuk Suap atau Ghulul.

Gaya hidup masyarakat hedonis ini sudah bisa kita lihat di lingkungan kita, dimana banyak orang berlomba-lomba memamerkan Harta Kekayaan. Mencari kesenangan tanpa batas. Hal tersebut disebut-sebut menjadi alasan untuk masyarakat hedonis ini memberikan reward kepada diri sendiri. Padahal menurut saya pribadi memberikan reward kepada diri sendiri itu  bisa kita lakukan dengan cara bersyukur. Wujudkan dengan memperbaiki ibadah kita baik dari kualitas maupun kuantitas. Itu lah wujud syukur atau reward kepada diri sediri. Membawa diri kita menjadi semakin baik dihadapan Allah SWT bukan semakin baik dimata manusia.

Lalu bagaimana Menurut pandangan Ahli fiqih dalam memberi hadiah kepada guru. Ahli fiqih dalam hal ini berbeda pendapat. Dimana pendapat yang pertama tidak diperbolehkan memberi hadiah apa pun kepada guru karena termasuk ghulul atau suap sebagaimana hadis dari Abu Humaid as-Sa'idi bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Hadiah bagi pejabat (pegawai) adalah ghulul (khianat)" (HR Ahmad).

Hadis ini dhaif sebagaimana dijelaskan dalam Musnad Ahmad dalam hadis Abi Humaid as-Sa'idi Nomor 23601 dan dijelaskan oleh asy-Syaukani bahwa karena dalam sanadnya ada Ismail bin Abbas (Nail al-Authar/2710). Namun, hadis tersebut disahihkan oleh Syekh Albani (Shahih al-Jami' ash-Shagir wa Ziyadatuhu halaman 1.111).

Dalam hal ini dapat memicu sikap wara' serta membuat wali murid yang lain terpaksa memberikan hadiah juga atau disebut Impulse buying atau pembelian saat itu juga yang tidak direncanakan sebelumnya dan didasarkan pada tindakan yang sangat kuat serta dorongan atau motivasi yang sangat kuat untuk membeli. Menurut Kacen dan Lee juga menjelaskan karakteristik dari pembelian secara impulse yaitu relatively rupid decision making and a subjective bias in favor immediate possession. Ini dapat diartikan sebagai pembelian yang tidak melibatkan perhitungan atau mengikuti ego mereka dan disertai dengan pertimbangan yang kurang. Dimana prinsip tersebut sangat bertentangan dengan Islam.

Etika Islam dalam mengatur konsumsi yaitu untuk mencapai mashalah (kesejahteraan/kebahagaian dunia dan akhirat) dimana prinsip ini berbeda dengan prinsip konsumsi pada ekonomi konvensional yang tujuannya memenuhi kepuasan pribadi berdasarkan teori nilai guna. 

Adapun prinsip konsumsi dalam Islam terdiri dari prinsip kebolehan, tanggung jawab, keseimbangan (tidak kikir dan tidak berlebihan dan prioritas. Sementara etika konsumsi dalam ekonomi Islam adalah memperhatikan prioritas kebutuhan, mengkonsumsi produk halal, memperhatikan kualitas konsumsi (halal lagi baik), mengutamakan nilai maslahah serta kesederhanaan (tidak israf). Pada dasarnya kegiatan konsumsi Islam harus memperhatikan dan sesuai dengan maqashid syariah agar tujuan konsumsi itu tercapai yaitu maslahah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun