Salah satu kemampuan yang mestinya dimiliki oleh seorang pemimpin, meski bukan sebuah kewajiban, adalah kemampuan melakukan komunikasi verbal yang baik. Term “baik” tidak hanya dimaknai dengan intonasi, kelancaran, mimik, atau mungkin diksi yang baik saja, tapi jauh lebih dari adalah “ketepatan” gaya komunikasi yang disesuaikan dengan audiens yang ada di depannya. Memahami konteks dalam komunikasi itu penting.
Artinya, ia harus bisa membedakan gaya komunikasi ketika di depannya adalah para pejabat, orang-orang hebat, para orang tua, dengan gaya komunikasi ketika di depannya adalah anak-anak dan siswa pelajar. Sebab tidak lucu ketika di depannya adalah anak-anak, siswa, atau para pelajar tapi gaya komunikasi dan bahasa yang digunakan tidak sesuai dengan konteksnya, atau sebaliknya. Itulah yang bisa kita pahami dari gaya komunikasi Puan Maharani, Menteri Koordinator Pembangunan Manusian dan Kebudayaan (Menko PMK).
Pemandangan itu tampak, ketika siang itu Puan mendampingi Presiden untuk membagikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) kepada siswa-siswi di Ambon. Puan yang selama ini sering berada di depan orang-orang “resmi” dengan bahasa formal, dapat merubah gaya komunikasinya dengan baik sehingga terjadi interaksi dengan para siswa-siswi tersebut.
Ini bermula ketika Puan menyampaikan besaran uang di dalam kartu KIP yang telah dibagikan. "Anak SD dapat Rp 400 ribu, senang enggak? SMP dapat Rp 700 ribu, cukup enggak? SMA dapat Rp 1 juta," ucap Puan. Setelah Puan menyebut Rp 1 juta, dia pun mendapat sorakan. Sorakan itu dapat dipahami karena adanya perbedaan besaran yang diterima, bukan pada sosok Puan. Namun dengan santai, Puan langsung mengeluarkan nada candaan. "Ya ini kan sesuai. Semakin besar semakin banyak kebutuhannya. Tapi seneng kan dapat semua?" tanya Puan. Ribuan siswa pun langsung bersorak, "Senang”.
Dengan baju putih “khas” yang sering digunakannya, Puan melanjutkan candaannya, "Adik-adik beruntung, bisa ketemu bapak Presiden langsung. Sudah berapa hari nunggunya? Dua hari kan. Sekarang ketemu Presiden dapat KIP, terima uang lagi. Kok huhu (bersorak). Kalau senang, tepuk tangan dong," canda Puan. Semuanya pun bertepuk tangan. Siang itu yang panas dan kaku, agak sedikit cair ketika Puan bercanda dengan siswa-siswi yang tampak begitu semangat.
Apa yang bisa kita pahami? Tentu saja kehebatan Puan untuk “melebur” secara komunikatif dalam suasana yang dipenuhi anak-anak dan siswa-siswi tersebut. Bisakah kita bayangkan ketika gaya komunikasi yang digunakan sedemikian “kaku” seperti ketika berpidato di depan orang-orang “resmi” dengan bahasa formal itu?. Mereka mungkin akan bilang, “Mama sayaaangeee, Ibu Menteri ini bicara apa lae?”. Artinya, Puan saat itu tak ubahnya seperti sosok “guru” atau “ibu” sehingga komunikasi yang dibangun sama sekali tidak kaku.
Kita jadi teringat dengan sebuah diktum lama, “berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akalnya”. Artinya, gaya dan bahasa yang digunakan harus “sesuai” dengan konteks yang sedang dihadapi. Bahasa ilmiah populer dan sangat teoritis ketika berbicara, tapi dilakukan di depan ribuan siswa-siswi, itu sama seperti mengajarkan algoritma pada anak SD. Algoritmanya keren, tapi yang ngajarin sepertinya sedang “miring”.
Puan memahami betul konteks ketika ia melakukan komunikasi, terutama secara verbal. Ia tahu bagaimana cara, gaya, dan bahasa yang digunakan harus sesuai dengan “pemirsa” yang ada di hadapannya. Modal itu, jika mestinya harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sudah dimiliki oleh Puan Maharani dan dapat diaplikasikan dengan baik. Pengalaman mempunyai peran penting untuk semakin mengasah kemampuan komunikasi seseorang, disamping, tentu saja tidak bisa dilupakan, bahwa Puan adalah lulusan Ilmu Komunikasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H