Mohon tunggu...
soemarlin halomoan ritonga
soemarlin halomoan ritonga Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Kejaksaan R.I

Saya orang bersemangat, aktif dan siap mempelajari hal-hal baru namun karena hukum dan politik adalah hal yang dinamis dan fleksibel sehingga membutuhkan banyak diksi untuk menjadi narasi yang komplek ...

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Jaksa dan Politik Hukum Kewenangan Pengajuan PK

22 Maret 2024   01:51 Diperbarui: 22 Maret 2024   01:53 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menurut ketentuan Pasal 30 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya ditulis UU Kejaksaan), Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang di bidang pidana, bidang perdata dan tata usaha negara, dan bidang ketertiban dan ketenteraman umum. 

Selain itu, menurut Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan dinyatakan bahwa Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Namun karena merasa ketentuan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan berpotensi merugikan hak konstitusionalnya, seorang bernama Hartono yang berprofesi sebagai Notaris mengujikan ketentuan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam register perkara Nomor 20/PUU-XXI/2023. 

Dalam putusannya kemudian, dinyatakan bahwa penambahan kewenangan jaksa untuk mengajukan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana diputuskan dan dibacakan pada tanggal 14 April 2023 di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam pertimbangan MK, norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah norma yang konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain selain PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. 

Selain itu, Mahkamah menegaskan apabila ada pemaknaan yang berbeda terhadap norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang justru menjadikan norma tersebut inkonstitusional. Berdasarkan uraian-uraian di atas, perdebatan-perdebatan tentang kewenangan Jaksa dalam hal mengajukan upaya hukum PK perlu untuk dikaji lebih lanjut tentang urgensi Jaksa mengajukan PK. 

Sebagaimana penjelasan sebelumnya, jelas disebutkan bahwa yang mempunyai hak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya dengan adanya Putusan MK Nomor 20/PUUXXI/2023 yang mana haruslah dimaknai Jaksa tidak berwenang mengajukan PK, sedangkan tidak bolehnya Jaksa mengajukan upaya PK berpotensi menyempitkan tugas dan tanggung jawab Jaksa yang mewakili negara dalam melindungi kepentingan keadilan bagi korban, termasuk bagi negara, sehingga diperlukan suatu politik hukum di masa mendatang. 

Oleh karena itu isu hukum ini menarik untuk dianalisis terkait urgensi wewenang Jaksa (Penuntut Umum) mengajukan Peninjauan Kembali (PK) adalah dalam perihal Jaksa memiliki hak konstitusional atau kedudukan yang sama dan adil dari kedua sisi dengan terpidana yang diwakili kuasa hukum dalam hukum acara pidana yang didasari atas teori kontrak sosial dalam arti bahwa Jaksa adalah wakil/representasi/kuasa hukum yang bertindak untuk dan atas nama korban, masyarakat umum, dan negara yang memberi fasilitas menuntut kepentingan pencarian kebenaran ketika kejahatan menciderai keadilan, berdasarkan asas equality before the law dan equity of arms sebagai kriteria fair trial. 

Urgensi berikutnya adalah dalam rangka memperbaiki putusan yang keliru dalam hal mencari kebenaran materiil sesuai tujuan hukum pidana didasarkan bahwa putusan adalah hasil pertimbangan Hakim yang sebagai manusia tidak luput dari kekhilafan, sehingga melalui upaya PK akan terungkap fakta-fakta materiil sebagai kebenaran sejati yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana. 

Hal ini secara faktual terlihat dari beragam upaya PK dari Jaksa yang dikabulkan Hakim PK dalam putusan-putusan PK, bahwa terdakwa harus dipidana lebih berat dan/atau terdakwa telah keliru diputus bebas atau lepas. 

Politik hukum penguatan wewenang Jaksa mengajukan PK di masa mendatang adalah dengan jalan melakukan upaya amandemen terhadap KUHAP dengan tetap mempertahankan materi dalam Pasal 263 KUHAP seutuhnya (ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang tetap memberi wewenang Jaksa mengajukan PK terhadap putusan bebas dan putusan lepas, walau harus merintangi putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat, karena sejatinya pemerintah sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan tetap memiliki wewenang untuk menindaklanjuti atau tidak putusan MK, selama dengan syarat demi kepentingan umum dan keadilan baik bagi pelaku tindak pidana dan korban, dan tanpa mengurangi prinsip kemandirian Hakim. 

Kemudian upaya berikutnya sebagai alternatif adalah pihak Kejaksaan sebagai Pemohon melakukan uji materiil terhadap Pasal 263 KUHP seutuhnya ke MK dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sebagai batu uji dengan petitum agar ketentuan Pasal 263 KUHP dinyatakan konstitusional sehingga secara mutatis mutandis ketentuan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan akan kembali sah dan mengikat dengan memberi wewenang Jaksa mengajukan PK terhadap putusan bebas dan putusan lepas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun