“May Day” dengan segala hiruk pikuknya telah berlalu dengan menyisakan pertanyaan dan pernyataan. Akankah kehidupan buruh bisa membaik kearah “sejahtera” seperti yg mereka inginkan dan tuntut? Dan pernyataan politik buruh seputar Pilpres yang semakin mendekat, bahwa mereka akan mendukung (memilih gak ya??) siapapun Capres yg berani teken kontrak politik dengan buruh untuk memenuhi 10 tuntutan mereka.
Di dalam proses mendapatkan suatu pekerjaan, yang umum terjadi adalah terwujudnya suatu kesepakatan kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja melalui beberapa tahapan dan interview. Dan ketika seorang menerima pekerjaan sebagai buruh, tentunya juga sudah melalui proses ini, sehingga mereka mestinya bisa mengkalkuklasi pendapatan dari tempat kerjanya setiap bulannya, kalau dihitung tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup yang menurutnya “layak untuk bisa sejahtera” mengapa harus dipaksakan untuk bekerja di tempat itu?. Kata terpaksa dan tidak ada piihan seringkali menjadi alasan kuno yang muncul, seolah-olah hanya itulah satu-satunya kesempatan kerja buat dia. Dengan demikian sesungguhnya mereka ini sudah “terjajah” mentalitasnya, bekerja hanya mengandalkan rutinitas jadwal perusahaan yang notabene selalu perlu diawasi. (Saya kira) Sampai kapanpun yang namanya “terpaksa bekerja” sebagai buruh tidak akan mampu mewujudkan “hidup layak”. Bukan berarti semua buruh tidak bisa mewujudkan kehidupan yang layak, namun semuanya terpulang dari bagaimana mereka mempunyai pola pikir yang positif terhadap segala keputusan yang mereka buat dengan menerima segala resiko yang dihadapi tanpa harus menyalahkan pihak lain, dan bersikap bijak menanggapi keadaan yang harus dihadapinya. Ada banyak buruh yang merasa hidupnya sudah sejahtera, mampu menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi, punya rumah sendiri dan sebagainya.
Ada tetangga yang pekerjaannya sebagai penjual bakso keliling dengan gerobaknya, sudah beberapa tahun pekerjaan itu ditekuninya tanpa pernah mengeluhkan penghasilan yang didapat. Suatu kesempatan, aku ngomong-omong dengan dia, bertanya mengenai jam kerja, omset penjualan, keuntungan, keinginan dan beberapa pertanyaan menyangkut anak-anak. Dari situ aku mendapat “surprise”, ternyata pendapatan perbulannya tidak kurang dari 5 juta-an, bayangkan kalau semangkok bakso harga Rp.10.000 dan perhari dia bisa menjual 20 mangkok saja (paling apes) maka dalam 25 hari kerja (kebetulan seminggu dia libur sehari) dia mendapatkan 5 jutaan. Dengan jam kerja yang diatur sendiri, tanpa supervisi dan keuntungan untuk diri sendiri. Dia juga ga pernah mengeluh, protes atau bahkan demo ketika harga daging sapi (yg karena dikorupsi) ataupun bahan-bahan lainmembumbung tinggi.
Kontras dengan para buruh kemarin yang di GBK, yang menuntut upah yang “hanya” 3,7 juta sebulan, dengan segala caci maki dan komentar yang menyalahkan dan bahkan ancaman kepada pihak lain sebagai pihak yang bersalah atas “ketidaksejahteraan” hidup mereka.
Ajakan kepada saudara-saudara para pekerja (buruh), Mari ubah cara pandang kita terhadap segala yang ada di depan mata kita. Ada pepatah berkata “ Tuhan tidak akan memberi pertolongan kepada mereka yang tidak mau berusaha”. Pertolongan selalu ada ketika kita mau mengusahakan perubahan untuk kehidupan yang lebih baik. Untuk mengubah dunia sebetulnya tidak terlalu sulit, ubahlah diri sendiri dulu, maka kita akan melihat dunia yang berubah melalui cara pandang kita.
Salam perubahan, untuk Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H