Mengamati hiruk pikuk "pesta demokrasi" yang berlangsung beberapa bulan ini sungguh merangsang otak untuk terus ingin tahu kesinambungan cerita dari hari ke hari, melalui media massa dan media sosial, berjubel informasi dan opini saling susul menyusul bahkan cenderung tumpang tindih.
Ada satu fenomena yang menarik diamati dari "crowded information traffic" yang terjadi, yaitu munculnya para Pemimpin (karena sudah punya banyak pengikut) tingkat "DEWA". Coba perhatikan mindsetting para pengikut pemimpin-pemimpin yang sekarang ini dinominasikan untuk menduduki kursi kepresidenan, mulai dari rasional karena sesuai kebutuhan sampai kepada yang fanatik "pokoknya punyaku paling baik, yang lain jelek". Dan seperti yang bisa diduga "sesajen" dari para pengikut seperti itu semakin memperbesar ego sang pemimpin.
coba lihat bentuk-bentuk sesajen mereka, mulai dari obrolan di warung kopi, konser di panggung-panggung politik yang mendompleng event kelompok tertentu semacam kaum buruh-aktivis masyrakat dll, slogan di stiker-spanduk-baliho, sampai kepada penggunaan gadget yang berteknologi tinggi. Dan isi sesajennyapun bermacam-macam mulai dari hasil survey dari lembaga survey baik yang kredibel maupun abal-abal (taylor made), pernyataan sikap mendukung pemimpinnya sambil menolak yang lain,sampai kepada spam danscam dari pasukan saiber yang setiap saat meronda jagad maya yang hampir tiap menit membombardir.
Hal seperti itu menyebabkan para pemimpin tersebut kemudian merasa "GEDHE NDHAS'E"(besar kepala ...kaya E.T aja) sehingga ketika terjadi kekecewaan kepada satu kelompok atau seseorang maka akan keluarlah kemurkaannya, seolah-olah dia mempunyai kebenaran absolut yang harus diikuti oleh orang lain.
Lihat saja respon kekecewaan dari seorang "Bang Haji Raja nDhangdhut"berlaku seperti POSEIDON dengan "kutukan" akan menenggelamkan suara dari partai yang tidak lagi meng"apresiasi"nya. Atau "Sang Jenderal Berkuda" yang merasa di"khianati" dan kemudian bertitah seperti ARES sang dewa perang, kepada sang panglima yang kemudian mengerahkan batalion tempur dunia virtual untuk menggempur dengan berbagai cara untuk menurunkan "kasta" pihak lain menjadi kaum "paria bin kafirun" yang seolah tidak layak hidup di muka bumi. Adapula "Satria Klemar-klemer" yang walaupun tidak menunjukkan respon yang berlebihan namun tetap terkesan bahwa dia merasa sebagai yang paling pantas seperti ZEUS yg merasa membuat semuanya menjadi nyata, sehingga semua titahnya harus disetujui oleh pengikutnya. Bagaimana dengan "dewa-dewa" yang lain?? anda yang lebih jeli melihatnya.
Seyogyanya seorang pemimpin akan menghasilkan pemimpin yang lain, bukan malah "membunuh"nya. Tetapi..yah apa mau dikata "power tends to corrupt".
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H