Harapan masyarakat untuk memiliki wakil rakyat yang bebas dari bayang-bayang kasus korupsi pada pemilu di 2024 mendatang sepertinya menemui secercah harapan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mengeluarkan putusan tentang larangan bagi mantan napi yang telah selesai menjalani hukuman yang  diancam dengan pidana kurungan diatas 5 tahun untuk mencalonkan diri menjadi calon DPR-RI, DPD dan DPRD sebelum jeda masa lima tahun terhitung sejak tanggal ia dibebaskan dari hukuman.
Putusan MK tersebut tertuang dalam Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 yang dibacakan dalam sidang putusan atas pengujian Pasal 240 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Rabu, 30 November 2022.
Semula, Pasal 240 Ayat (1) huruf g membolehkan mantan terpidana untuk langsung mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif sepanjang yang bersangkutan menyampaikan statusnya sebagai narapidana secara jujur dan terbuka kepada publik melalui media massa.
Sebelumnya, aturan harus menunggu jeda selama minimal lima tahun bagi mantan narapidana ini hanya berlaku bagi calon Kepala Daerah saja dan tidak berlaku bagi calon anggota legislatif, baik DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota.
Meskipun berlaku secara umum bagi seluruh mantan napi dalam kasus apapun, keputusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 tersebut menjadi secercah harapan dan angin segar tersendiri bagi upaya pemberantasan kasus korupsi dilingkungan lembaga legislatif di Indonesia.
Publik pun sangat mengapresiasi putusan MK tersebut dan berharap anggota legislatif terpilih di Pileg 2024 mendatang adalah benar-benar sosok yang bebas dari bayang-bayang kasus korupsi dan kasus-kasus kejahatan lainya.
Dalam pertimbangannya majelis hakim MK menilai bahwa harus ada kesetaraan hukum antara calon Kepala Daerah dengan calon anggota legislatif di Indonesia, sehingga persyaratan menunggu jeda minimal lima tahun bagi mantan terpidana yang diancam dengan hukuman diatas lima tahun tidak boleh hanya diberlakukan kepada calon Kepala Daerah saja, tapi juga harus diberlakukan sama kepada para calon anggota legislatif di seluruh tingkatan di Indonesia.
Hal tersebut juga dikarenakan Kepala Daerah dan anggota legislatif adalah sama-sama merupakan pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat, jadi tidak boleh ada diskriminasi dan perbedaan persyaratan diantara keduanya.
Diharapkan, dengan adanya jeda atau masa tunggu selama lima tahun pasca yang bersangkutan dibebaskan dari hukuman untuk bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, hal tersebut bisa menjadi  masa instrospeksi diri bagi sang mantan narapidana sekaligus masa penyesuaian dengan lingkungan masyarakat dimana yang bersangkutan tinggal pasca yang bersangkutan dibebaskan dari hukuman.
Selain itu, dalam masa lima tahun tersebut masyarakat juga bisa melakukan penilaian terhadap sikap dan perilaku sang mantan terpidana, apakah benar-benar sudah berubah serta menyesali segala perbuatan salah yang pernah mereka lakukan sehingga berujung hukuman, atau justru sebaliknya tetap mengulangi kembali prilaku buruk yang pernah mereka lakukan.