Mohon tunggu...
Andi Kristiawan
Andi Kristiawan Mohon Tunggu... -

Saya bekerja di Yayasan Dinamika Edukasi Dasar Yogyakarta. Yayasan ini bergerak di bidang pendidikan. Yayasan DED Dibawah Keuskupan Agung Semarang. Saya bergabung dengan DED sejak tahun 2008.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mbah Wongso

29 November 2013   09:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:32 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore hari yang kurang enak disambut hujan rintik-rintik menambah sendu hati menusuk tulang tengkorak seorang nenek renta yang kurang beruntung. Di depan rumah reot terduduk sepi ibarat patung tanpa tujuan arah pandangannya. Sudah 15 tahun anak yang diasuhnya sewaktu kecil belum juga menampakkan batang hidungnya. Tanpa lelah dan rasa pasrah nenek menunggu dengan hati setia namun sedikit dongkol. Nenek yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbah Wongso dan memang itu namanya sejak dulu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Di tengah kesibukan menunngu Mbah Wongso selalu menyempatkan membuat bebakaran, bukan bebakaran ikan maupun nasi bakar, Mbah Wongso menjual arang demi melanjutkan hidupnya. Mbah Wongso yang hidup sebatang kara dengan setia melakoni pekerjaan ini.

Jumi kecil yang berusia 6 tahun bermain pasaran (masak-masakan) di samping tumpukan arang yang menggunung didekat dinding bambu (gedhek) dapur. Sambil keluar ingus si Jumi makan ketela pohong yang baru saja selesai dibakar oleh ibunya.

Mbok telo bakare enak ” (Ibuk ketela bakarnya lesat)

Dengan sedikit menghiraukan perkataan anaknya Wongso menjawab dengan semaunya.

Yo…. Nek enak dipangan, men wareg! Neng Mbokmu dingengei ” (ya kalau enak dimakan, supaya kenyang! Tapi Ibumu disisakan)

Yo Mbok ” sambil mulutnya penuh dengan ubi.

Mbok…..mbok besok aku dibakarkan ubi lagi ya! “

Jumi memang hobi makan ketela bakar. Ya maklumlah mau makan KFC seperti layaknya orang kaya belum tercapai karena uang belum punya.

Sambil tersentak dalam lamunannya tanpa disadari air mata Mbah Wongso jatuh menetes membasahi lantai tanah yang sebetulnya sebagai saksi bisu dan ikut bertanya, sebenarnya Jumi kemana? Mbah Wongso tidak mau mengikuti kesedihan hatinya terus menerus. Dengan sigap Mbah Wongso mengambil ketela bakar yang tepat di sisi kananya. Dengan sisa gigi yang masih terpampang di mulut bagian ujung Mbah Wongso mulai mengunyah bak sapi ngganyemi kata orang Jogja. Dengan sisa kekuatan yang dipunyai ketela bakar tersebut dikunyah hingga lumat tangpa ada sisa sedikitpun.

Adzan magrib sudah menghampiri Mbah Wongso, sementara hujan rintik masih jatuh di atas genting dari gubuknya. Mbah Wongso mengangkat badannya untuk masuk ke dalam rumah. Rumah sunyi tanpa suara orok yang sebenarnya diharapkan Mbah Wongso. Amben bambu yang sudah reot dan sebagian dimakan rayap, Mbah Wongso membaringkan badanya. Dalam amben tersebut Mbah Wongso memanjatkan doa.

Duh Gusti Hyang Maha Kuaos kawulo nyuwun Gusti purun nyadaraken anak kulo Jumi supados eleng marang simbokipun

Setelah selesai mengumandangkan doa yang memang dilakukan setiap sore atau sewaktu akan tidur. Mbah Wongso mulai memejamkan matanya yang lelalah, yang memang seharian capek mencari kayu dikebun-kebun tetangga untuk dijadikan arang.

Pagi-pagi buta Mbah Wongso mulai bangun. Seperti biasa Mbah Wongso mulai memasukan arang ke dalam karung (bagor kata orang jogja). Mbah Wongso hanya mampu membawa arang satu karung saja tidak penuh. Berbeda pada zaman waktu masih muda Mbah Wongso mampu membawa 2 sampai 3 karung ukuran sedang dalam sekali gendong. Umur yang sudah renta membuat Mbah Wongso mengalah. Setapak demi setapak Mbah Wongso melangkahkan kakinya. Jarak antara pasar Prambanan dengan rumahnya tidak begitu dekat. Jarak tersebut cukup 10 km saja. Setiap hari jarak tersebut ditempuh dengan kakinya yang sudah kapalan entah seberapa tebal, sampai-sampai kerikil tajam sudah tidak mampu menembus kapal Mbah Wongso.

Sesampainya di pasar Prambanan, seperti biasa Mbah Wongso menyetorkan arang tersebut kepada penjual sate ayam yang bukan orang Madura melainkan orang Wonosari.

“ Nak arangnya ditaruh mana? “

“ Ditaruh situ aja mbah dekat tusuk sate itu “

“ Ya di sini, tak taruh sini “

“ Makasih Mbah “

Segepok uang yang tidak banyak diberikan penjual sate ayam kepada Mbah Wongso. Dengan sigap Mbah Wongso menerima hasil keringatnya itu denga muka berbinar walau sebenarnya arang tersebut hanya laku 7.000 rupiah. Memang tidak seimbang dengan jarak dan jeripayah yang dilakukan. Uang tersebut dibelanjakan kebutuhan pokoknya, seperti beras seperempat kilo, kacang panjang, dan sisanya untuk beli gereh teri. Maklum Mbah Wongso tidak terdaftar sebagai penerima BLSM. Tapi itu tidak dihiraukan oleh Mbah Wongso yang sebetulnya sangat membutuhkan. Setelah selesai membelanjakan uangnya Mbah Wongso kembali pulang menuju rumahnya dan sambil membawa uang sisa 1.500 rupiah.

Sambil memainkan matanya ke kanan dan ke kiri Mbah Wongso sedikit berharap jangan-jangan dapat bertemu dengan anaknya yang selama ini dirindukan. Harapan tinggal harapan, dengan sedikit menahan rasa capek Mbah Wongso terus melaju menghilang dari pandangan tertutup belokan jalan yang memang biasa dilaluimya. Dua jam lebih Mbah Wongso menempuh perjalanan pulang. Dia merebahkan badannya diranjangnya yang reot. Matanya membelalak, pikirannya melayang membayangkan sewaktu masih bersama-sama. Dengan sekejap Mbah Wongso menampiknya, dengan rasa capek dibadannya Mbah Wongso bangkit meneruskan pekerjaannya didapur memasak untuk mengisi perutnya yang sejak pagi belum terisi apapun. Kata orang Jogja kothong blong. Jadi maklumlah Mbah wongso kena penyakit maag.

15 tahun silam ketika Jumi sudah berumur 16 tahun, Jumi ditawari pekerjaan oleh tetangganya yang memang calo tenaga kerja, katanya. Jumi ditawari menjadi pembantu rumah tangga dengan iming-iming gaji 250.000 rupiah per bulan waktu itu. dengan ijazah hanya tamatan SD Jumi menerima tawaran tetangganya. Jumi berpikir mau kerja apa saya yang hanya tamatan SD selain pembantu rumah tangga. Siapa tahu bisa meringankan beban simbok, pikirnya.

“ Mbok apakah boleh saya bekerja di kota “

“ Kerja apa tho Jum? Mbok sudah membantu simbok aja di rumah “

“ Aku pingin punya uang banyak mbok, supaya bisa memenuhi kebutuhanku sendiri dan

simbok “

“ Memangnya mau kerja apa, kamu saja hanya lulus SD ”

“ Pembantu rumah tangga mbok, lumayan, gajinya 1 bulan 250.000 rupiah “

“ Terus simbok piye! “

“ Simbok di rumah saja, besok kalau sudah ada uang saya kirim “

“ Yo… nek wis pancen manteb sak karepmu Jum, ning ojo lali karo Simbok “

Rupa-rupanya Mbah Wongso tidak mampu membendung keinginan anaknya untuk bekerja. Dengan rasa berat hati Mbah Wongso melepaskan anaknya untuk bekerja.

“ Ati-ati yo Jum, neng kutho okeh godane. Ojo gampang keno godho “

“ Ya mbok. Nyuwun pangestu “

Sejak peristiwa itulah Jumi tidak lagi kembali ke rumah. Mbah Wongso mengkhawatirkan keadaannya. Pikiran melayang sambil bertanya dalam hati.

“ Jum….Jum dulu disuruh di rumah membantu simbok kok tidak mau “

“ sekarang kamu dimana! “

“ Sudah lupa pada simbok ya!, Atau hidupmu kini sudah enak? “

Perasaan kangen campur kawatir menghinggapi jiwa Mbah Wongso. Terlebih tetangga yang dulu mencarikan kerja anaknya juga ikut hilang entah kemana bersama dengan Jumi 15 tahun yang lalu. Tidak tahu lagi harus bertanya dan mencari dimana. Hanya menunggu dan menunggu sambil berharap.

Siang itu Mbah Wongso asyik mencari kayu dikebun untuk dibakar dijadikan arang. Setelah pulang dari pasar pekerjaan Mbah Wongso memang itu. Dengan tubuhnya yang renta dan dimakan usia Mbah Wongso terus melakukannya. Dia kira-kira sekarang Mbah Wongso sudah berumur 75 tahun, itu hanya perkiraan. Maklum orang tua Mbah Wongso lupa kapan tanggal lahir anaknya. Wajarlah zaman dulu tanggal lahir tidaklah penting, yang penting anak keluar dan diasuh sudah cukup. Melahirkannya pun tidak di rumah sakit melainkan di dukun bayi. Keringat yang keluar dari tubuh Mbah Wongso tidak seperti biasanya. Di samping panas terik yang tidak seperti biasanya pula. Mbah Wongso tiba-tiba terduduk lemas, tubuhnya gemetar. Tidak ada orang di sekelilingnya. Hanya suara burung dan desiran angin yang ikut panas menghempas tubuh Mbah Wongso. Wajahnya pucat layu, bibirnya gemetar, seolah mau berbicara tidak sanggup. Mbah Wongso hanya bisa diam membisu tanpa ada kata. Kedipan mata terakhinya membawa ke alam raya seturut kangennya pada Jumi.

Yogyakarta, 10 Juli 2013

Di Dinamika Edukasi Dasar

Andi Kristiawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun