Mohon tunggu...
Sulcha Fitria
Sulcha Fitria Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini gemar menuangkan rasa dan pikirannya melalui goresan-goresan pena. Baginya, merangkai kata adalah aktivitas paling asyik, terutama tatkala tidak ada aktivias fisik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengaku Santri, Why Not????

26 November 2011   01:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:11 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pesantren merupakan satu dari sekian banyak tempat untuk mengenyam pendidikan, tidak hanya pendidikan umum tetapi juga pendidikan agama. Selain itu juga bonus pendidikan kedisiplinan dan organisasi. Waktu minimum menuntut ilmu di pesantren adalah 3 tahun, meskipun tak jarang pula yang mencapai 6, 10, bahkan 12 tahun. Wow, gimana bisa betah hingga selama itu ya tinggal di pesantren???

Aku sendiri misalnya ditantang untuk tinggal di pesantren selama itu, aku nggak berani memberi jawaban “iya”, karena aku termasuk santri yang “badung” di zamanku. Tetapi kalau kalian bertanya kepada teman-teman yang pernah semasa denganku di pesantren, mereka pasti mengatakan bahwa aku adalah santri yang rajin, taat dan disiplin terhadap aturan pesantren yang amat sangat mengekang ntu. Aku sih maklum kalau mereka nantinya akan berkata demikian, karena mereka belum bahkan mungkin tidak tahu sama sekali bahwa aku sebenarnya juga sering melanggar peraturan, tetapi aku terlalu pinter untuk tertangkap oleh pengurus atas pelanggaranku. Hehehe bukannya bermaksud sombong tetapi memang begitulah faktanya. Okkah, cukup di sini pembongkaran kebadunganku, kalau aku lanjutin ntar semua rahasia hidupku terbongkar. Hehe. Intinya yang ingin aku bicarakan sekarang adalah…..

“Mengapa ketika uda lulus dari pesantren, ada aja ‘mantan santri ‘ yang malu mangakui ‘kesantriannya’????” maksudku mereka entah nggak berani, nggak mau atau memang malu mengaku dan memberi tahu dunia dan mengatakan “ini lho, aku seorang santri”( tetapi nggak juga harus berteriak di depan umun dan mengatakan ntu lho ya..)

Eits, bukannya aku mengajarkan untuk sombong lho.. tetapi aku heran aja mengapa mereka bersikap seperti itu?? Bukankah seharusnya bangga pernah menjadi santri?. Bangga memilki pengetahuan agama yang ya setidaknya mengerti syarat-rukun ibadah wajib, nahwu-shorof dan punya mufrodat bahasa Arab meskipun cuma 2,3,10, 1000 kata. Atau mau beralasan “gw nggak mau sombong kale kalo gw pernah nyantri”. Lha, ntu nggak mau sombong ataukah malah ngerasa malu jika ntar ngaku “santri” terus diminta untuk mambaca doa dan ternyata nggak bisa gara-gara saking badungnya waktu belajar di pesantren dulu???. Nah ketemu dech factor ‘pengingkaran’ pertama. Makanya ne, saran buat yang masih ‘nyantri’, kalau belajar yang bener. Bolehlah badung, tetapi jangan sering-sering, kalaupun sering juga boleh tetapi mbok yow diimbangi dengan belajar. Yang jelas jangan sampai badungnya kelewatan dan di tambah lagi nggak mau belajar, kalau kayak gini mah mending ‘ke laut aje lo’ jangan di pesantren. Hhe..

Nah yang bikin aku heran lagi, misalnya ada ‘mantan santri’ yang pinter or mungkin pernah juga menjabat sebagai pengurus pesantren, lha tetapi ketika keluar dari pesantren, dia nggak mau menunjukkan ‘kesantrinnya’. Ini mengapa bisa terjadi?? Ilmu dah ada, pengalaman juga baik, lalu apa alasan ‘pengingkaran’nya. Sayang banget kan kalau ilmu yang ‘dia’ peroleh nggak diamalkan. Mungkin sih emang tetap diamalkan tetapi buat dirinya sendiri, lha kalau kayak gini mah di mana letak aplikasi “sampaikan walau satu ayat”nya???. Yang namanya ilmu terutama ilmu agama bukan untuk dimakan dan ditelan sendiri, tetapi untuk diajarkan dan disebarluaskan. Ntu baru jadi ilmu manfaat n barokah. Kalau masih ada aja ‘mantan santri’ yang punya ilmu tetapi tidak mau mengakui ‘kesantrian’nya maka secara tidak langsung tentu dia tidak akan mengajarkan ilmunya karena takut ketahuan ‘kesantrian’nya, dan tentu saja ilmu yang dia miliki hanya dia dan Tuhan yang tahu. Pelit banget ntu orang, percuma dong lama di pesantren, pinter, disiplin tetapi ujung-ujungnya perjuangannya ntu nggak bermanfaat buat orang lain.

Kemudian gini sahabat/i, alumni pesantren sekarang kan nggak mau ketinggalan zaman, jadi setelah lulus dari pesantren melanjutkan pendidikan S1, istilah populernya kuliah. Ini ne masa-masa pengujian ‘seberapa beranikah Anda mengakui ‘kesantrian’ Anda??? Kalau kuliahnya di lingkungan yang religious kayak PAI, Tarbiyah, Bhs.Arab, dll okelah tentu lingkungan sosialnya juga nggak beda jauh dari dunia pesantren karena rata-rata yang kuliah di jurusan ntu juga para alumni pesantren, ini aman. Terus gimana kalu lingkungan sosialnya adalah lingkungan umum seperti kedokteran, MIPA, sastra, teknik, dll??? Ini ne wilayah yang bahaya dan rentan buat ‘mantan santri’. Gimana nggak bahaya dan rentan, dunianya ntu lho jauh beda ma dunia pesantren. Yang nutup aurat jarang, sholatnya bolong, puasa Romadlon nggak penuh ( kecuali cewek ya, karena 99.9% emang pasti nggak penuh ) hhee. Emang nggak semua sih tetapi rata-rata demikian adanya.

Sebenarnya ini lahan subur buat ‘berdakwah’ tetapi kalo kuat dan sanggup coz ne medan perang yang rawan ledakan. Sayangnya ne, kebanyakan ‘mantan santri’ yang hidup di lingkungan ini malah menjadi terkontaminasi. Mereka nggak berani menunjukkan ‘kesantriannya’ dengan alasan yang bikin gregetan, “takut keliyatan nggak modis-lah, takut nggak gaul, takut nggak punya temen, dan takut-takut lain yang nggak seharusnya ditakuti”. Gubrakz,, ne orang kenapa jadi takut dengan hal sepele macam ntu??? Nilai akidahnya dapat berapa waktu di pesantren?? Yang harus ditakuti ntu cuma satu, Alloh S.W.T. Padahal ne misalnya dia berani mengakui ‘kesantrianya’ dia akan lebih dihargai dan dihormati, kalau pun ada yang mencibir or mencaci berarti ntu orang yang goblok. Uda nggak ngerti agama pake melecehkan orang ber-ilmu agama. Laporkan aja ntu ke KOMNASHAM, hhe... Kalo ada orang yang berbuat demikian ya disadarkan, kalo nggak sadar-sadar ya uda mau diapakan lagi, anak orang ntu, jalan terakhir ‘ingkar bil qolbi’ aja.

Ada juga sih alasan ‘pengingkaran’ yang semi-semi bisa diterima, yakni “sebenarnya tetap da niat berdakwah, tetapi pelan-pelan”. Nah pelan-pelan ini menjadikan dia ingkar sementara, ntar kalo uda saatnya, dia tunjukkan The Power of ‘kesantrian’nya. Berharap dengan bersikap demikian akan lebih mudah berdakwah, tetapi ‘pelan-pelan’nya ini juga jangan terlalu pelan atau malah pelan selamanya dan nggak muncul-muncul kekuatan ‘kesantrian’nya atau bahkan terseret arus dan endingnya nggak jadi berdakwah tetapi malah ‘didakwah’ para malaikat ntar di akhirat. Moga aja nggak ya,, buat sahabat/i yang menggunakan alasan ‘pengingkaran’ ini tetap di jaga spirit ‘berdakwah’nya.

Nah, fakta yang terjadi di dunia perkuliahan adalah ‘mantan santri’ nggak keliyatan lagi ‘kesantrian’nya dan yang nggak pernah ‘nyantri’ malah tampak seolah-olah ‘santri’. Emang sih nggak bisa untuk dihindari, rasa jenuh dengan predikat santri yang selalu dibatasi oleh aturan. Mulai dari aturan berbusana, berbicara dan berperilaku yang harus sesuai dengan aturan ‘santri’. Bertahun-tahun harus mematuhi aturan ntu, nah ketika merasa uda lepas dari aturan-aturan ntu akan mencoba segala sesuatu yang baru yang berbalik 180˚ dari yang zaman dahulu kala di pesantren. Akibatnya aura ‘kesantrian’nya memudar tanpa bekas. Nggak keliyatan sama sekali kalo dia dulunya pernah ‘nyantri’ dan tentunya ber-ilmu agama. Nah yang bikin lebih greget lagi adalah yang nggak pernah nyantri malah aplikasi ‘keislaman’nya ntu lebih kental. Aturan berbusana, berbicara dan berperilaku khas santri malah diterapkan padahal kalo ditimbang, ilmu agamanya jauh dari yang ‘santri asli’ tetapi dalam praktiknya, mereka lebih baik dari yang ‘santri asli’ meskipun ntu luarnya tetapi dalamnya tetap 'santri asli' yang bernilai lebih.

Oalah koq jadi terbalik semua kayak gini,, Maka dari itu sahabat/i.... bangga dan bersyukurlah kalian yang ‘santri asli ‘ dan tetap berani mengakui ‘kesantrian’ kalian. :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun