Mohon tunggu...
Sulcha Fitria
Sulcha Fitria Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini gemar menuangkan rasa dan pikirannya melalui goresan-goresan pena. Baginya, merangkai kata adalah aktivitas paling asyik, terutama tatkala tidak ada aktivias fisik.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Empat Gadiez Perantau

28 September 2012   04:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:33 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku adalah gadis perantau di kota metropolitan ini, Jakarta. Banyak yang berubah di sini jika dibandingkan dengan 2 tahun sejak kedatanganku ke kota besar ini. Namun, bukan perubahan lingkungan ataupun cuaca yang aku maksudkan. Perubahan itu adalah tentang sahabat-sahabatku, 3 gadis perantau lain yang menjadi orang pertama yang aku kenal di sini. Aku akan terus mengenang saat-saat indah itu hingga akhirnya perpisahan menyedihkan itu harus terjadi.

Usiaku 18 tahun ketika aku memutuskan untuk meninggalkan desa kelahiranku di Malang, Jawa Timur. Sebenarnya butuh keberanian besar ketika harusmengambil keputusan untukmenuntut ilmu di Kota besar, jauh dari sanak-keluarga. Dengan berbekal selembar surat bukti kelulusan tes beasiswa dari sebuah institusi pemerintah, aku berangkatuntuk berjuang di Ibukota Jakarta. Jujur saja, awalnya aku terpaksa menerima beasiswa itu karena sebenarnya bukan jurusan kuliah ini yang aku impikan. Sayangnya takdir Tuhan berkata lain, aku lulus tes beasiswa di Ilmu keperawatan, bukan di Kedokteran yang aku idamkan sejak kecil. Aku mencoba menerima takdir yang telah ditetapkan Tuhan kepadaku, toh aku yakin bahwa rencana Tuhan itu pasti indah.

Saat itu adalah hari minggu, ketika aku pertama kali berkenalan dengan mereka bertiga di asrama matrikulasi. Kebetulan mereka juga sama merantaunya denganku dan akan menjadi teman sekamarku selamamatrikulasi 2 bulan ini. Ternyata 1 dari mereka juga senasib denganku, tidak mengharapkan jurusan yang telah dia peroleh. Namanya adalah Mila, gadis cantik dan cerdas dari Jepara. Sama sepertiku, dia juga berharap akan lulus di kedokteran tetapi takdir juga berkata lain untuknya. Dia lulus di jurusan Farmasi, setidaknya sedikit lebih baik dari nasibku. Hehehe pikirku waktu, sebelum aku mengenal dunia keperawatan.

Gadis perantau yang kedua berasal Brebes, namanya Siti. Awalnya aku kira dia bisa bahasa jawa tetapi ternyata Brebes tempat kelahirannya adalah kelompok orang Sunda. Alhasil kalau ngobrol sama dia harus dengan berbahasa Nasional, bahasa Indonesia. Dia lulus tes beasiswa di jurusan Kesehatan Masyarakat, pas banget dengan kepribadiannya yang supel, mudah bergaul, dan doyan ngomong. Hehehe.

Gadis perantau terakhir bernama Yani. Dia harus menyebrangi selat Sunda untuk bisa sampai ke tanah Jawa, tepatnya di Kota Jakarta ini. Awalnya aku mengira dia memang asli penduduk Palembang tetapi aku heran ketika dia bisa bahasa Jawa. Eh ternyata dia memang keturunan Jawa, sayangnya dia belum pernah menginjakkan kaki di tanah Jawa asal nenek moyangnya. Ani cukup beruntung karena dia lulus tes beasiswa di jurusan yang memang dia inginkan yaitu Farmasi.

Itulah sekilas tentang 3 gadis perantau sahabatku.

¥¥¥

“Ha, buruan mandi. Kamu tuh selalu terakhir dan bikin telat”. Itulah omelan Siti setiap pagi kepadaku. Diantara kami berempat memang aku-lah yang paling malas mandi pagi, dingin, hehe sebuah alasan klasik. Ngomong-ngomong tentang mandi nih, kami punya ke-khas-an masing-masing. Aku paling malas mandi pagi dan paling cepet kalau mandi, kecuali kalau sambil mencuci baju.

Beda lagi dengan Mila, dia kalau mandi bukan cuma badannya yang dimandiin dan di-sabuni tetapi juga seluruh dinding kamar mandi. Busa sabunnya itu lho terbang kemana-mana dan tidak dibersihkan.

Kalau Siti ini mandinya super-lama. Entah ngapain aja di kamar mandi, alasannya sih dia nge-bersihin dinding kamar mandi dari busa sabun yang dibikin Mila. Bohong banget ntu dia, tanpa dibersihin juga bakal hilang sendiri busanya. Ckckck.

Nah yang paling pas mandinya itu si Yani, nggak cepet dan nggak lama. Dia juga paling rajin bersihin kamar dan ngosrek kamar mandi serta nguras bak kamar mandi. Dan aku sendiri nggak pernah bantuin dia sama sekali. Hehehe parah banget ya diriku. Tetapi ke-egoisanku itu harus aku bayar sekarang.

“Ha, ayuk buruaaannnn….. ntar kita telat lagi. Haduh kamu ini nggak berubah juga. Kemarin janjinya sekarang nggak bakal telat lagi, jangan bilang sekarang mau janji besok nggak bakal telat lagi dan lusa janji kayak gitu lagi. Bosen dengarnya Ha…”. Ah, aku nggak peduli dengan omelan Siti, kenapa dia nggak kayak Mila yang nugguin aku sambil duduk dan baca buku atau kayak Yani yang hanya melihat Siti sambil diam. Kayaknya kesel juga nih Yani dengar Siti ngomel terus tiap pagi. Tetapi itulah kami, penuh dengan warna.

Kami selalu berangkat ke ruang kuliah matrikulasi berempat meskipun kami tidak sekelas. Siti dan Yani di kelas B, sedangkan aku bersama Mila di kelas A, kelas orang pinter katanya. Hehehe. Nah, aku tuh selalu mengekor Mila coz dia pinter banget. Lha aku?? Boro2 pinter, ngerti tentang logika matematika aja nggak. Jadi alasanku ngekor Mila tuh supaya kalau aku kena tunjuk ngerjain soal, aku bisa minta tolong dia buat jawab. Hehehe, betapa cerdiknya diriku. Tetapi Mila ternyata nggak sepolos dugaanku, dia tahu niat licikku (kayak aku penyihir jahat aja). Alhasil, meskipun aku selalu duduk di sampingnya, berjalan di sampingnya, makan di sampingnya, tidur di sampingnya tetapi tak sekalipun dia ngasih aku “contekan”, baik itu ujian tulis ataupun lisan. Hiks, kasihan banget aku. Baru nyesel dech, kenapa dulu waktu Aliyah aku nggak agak rajin dikit gitu…..

Oh iya, saat itu bed-ku kan terasing, terletak di pojokan kamar, sedangkan bed milik ketiga temanku ini berdekatan dan berada pada satu jalur (terletak sejajar gitu maksudku). Aku juga heran, apa nggak mikir yang nata ne kamar, apa nggak kasihan sama yang kebagian di bed-ku ini, kayak orang yang sedang dimusuhi dan nggak punya temen, nggk bisa nonton tipi lagi coz terletak di bawah tipi. Melas.com.

Namun keajaiban terjadi, suatu siang di hari Minggu (saat libur kelas matrikulasi) ketika aku habis jalan-jalan, aku kagetnya luar biasa. Bed-ku hilang, lenyap, kemana perginya? Terus ntar malem aku tidur di mana dong? di lantai? Kasihan banget diriku. Hampir aja aku nangis darah. Tiba-tiba ada sebuah cahaya terang datang, ternyata oh ternyataaaa bed-ku cuma pindah lokasi. Sekarang ada 4 bed di garis sejajar itu meskipun agak dipaksakan menyelipkan bed-ku diantara bed mereka. Oh teman-teman kamaraku…. Kalian baik sekali. Ternyata diam-diam kalian mengasihini aku yang tidak bisa nonton tipi. Sayangnya, sampai sekarang aku tidak tahu siapa pencetus ide “baik hati” itu. tiap aku tanya ke mereka nih, pasti jawabnya gini, “Biar kamu nggak ganggu kita lagi, masak tiap nonton tipi kamu numpang di bed kita. Sempit tahu!!!!!”. Yaaah, walaupun alasan yang keluar dari mulut mereka seperti itu, tetapi aku yakin sebenarnya hati mereka berkata lain. Huehehe, sotoy banget aku.

Ssssttt… aku mau cerita tentang Siti dan Yani. Tetapi ini rahasia ya, jangan bilang siapa-siapa. Mereka berdua itu sama-sama doyan ngomong, jadi kalau udah bertengkar, sumpeh dah nggak ada yang mau ngalah. Masing-masing ngerasa paling bener. Aku juga heran, kenapa mereka berdua bisa nggak akur. Kadang-kadang ntu cuma gara-gara masalah sepele mereka bertengkar, dan sampai sekarang aku nggak tahu satu pun penyebab pertengkaran mereka. Tahu-tahu nih, uda ribut aja ntu orang dua. Aku ma Mila sih diem aja waktu mereka adu mulut, karena kita berdua tahu bentar lagi pasti akur lagi, damai lagi, baikan lagi, temenan lagi, kayak anak kecil aja ya.. hehehe

Sebenarnya ce, meskipun Siti itu orangnya kayak galak tetapi hatinya lembut. Buktinya nih, waktu aku sakit, demam tingkat tinggi, Siti yang merawat aku dengan sepenuh hati. Dia jagain aku, ngambilin aku makan, nyuapin aku. Bener-bener si Siti itu telah membuat aku jatuh cinta. Aku dibuat klepek-klepek olehnya. Hehehe. Mungkin buat Siti hal ini biasa aja tetapi buatku, peristiwa ini sangat berkesan. Seseorang yang baru kenal 1 bulan bisa bersikap sebaik itu kepadaku, aku benar-benar terharu.

¥¥¥

Kini tinggal aku dan Siti yang masih tetap dekat. Yani tidak tinggal satu atap dengan kami karena kami memang tidak satu beasiswa. Sedangkan aku dan Siti masih ditakdirkan untuk bersama hingga saat ini. Sebenarnya bukan hanya kami berdua, tetapi juga ada Mila yang tinggal bersama kami. Namun, setahun lalu Tuhan telah memanggilnya. Dia sakit.

Ada suatu penyesalan besar dalam hidupku. Mengapa aku tidak pernah peduli dengan Mila. Mengapa aku tidak pernah mengamati gaya hidupnya. Dia yang doyan banget belajar tidak pernah peduli dengan kesehatannya. Baginya belajar dan ibadah adalah segala-segalanya. Hidup hanya untuk belajar dan ibadah, itulah prinsipnya. Ya, akhirnya dia sakit, dan entah apa sakitnya. Sampai nafas terakhirnya pun tidak ada yang tahu penyakit apa yang sedang menggerogoti badannya. Betapa Tuhan sangat menyayanginya, seorang hamba yang mengabdikan hidupnya hanya untuk ilmu dan ibadah.

Kami menyayangimu sahabat…

Kami kan selalu menyelipkan namamu dalam setiap doa kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun