Salah satu wacana yang diusung oleh suksesor Kapolri, Komjen Sutarman, saat fit and proper test bersama Komisi III DPR RI adalah wacana pembentukan Detasemen Khusus Antikorupsi (Densus Antikorupsi). Sebagaimana namanya, menurut Sutarman, detasemen ini khusus memfokuskan bidikannya pada kasus-kasus korupsi yang terjadi di tanah air.
Tak pelak, wacana ini menimbulkan pro dan kontra. Tentu saja, pro kontra ini terkait dengan keberadaan KPK yang memang telah ada sebelumnya dan sengaja dibentuk untuk menghadapi kejahatan korupsi yang makin menjadi-jadi sekaligus untuk menjaga marwah reformasi. Ada ketakutan dimana pembentukan Densus Antikorupsi justru menimbulkan polemik baru dengan KPK.
Dalam kaitannya dengan KPK inilah, secara pribadi, saya menilai bahwa pembentukan Densus Antikorupsi yang bernaung di bawah Polri ini memiliki 2 potensi efek, bisa negatif dan bisa juga positif. Jika diatur dengan baik, maka akan sangat menguntungkan. Sebaliknya, jika tidak digunakan hati-hati, maka justru akan menimbulkan efek merugikan.
Tak bisa dibantah bahwa di satu sisi, jika tidak dikelola dengan baik, Densus ini akan mengebiri tupoksi KPK sebagai lembaga superbody yang memang bekerja khusus memberantas korupsi. Tanpa adanya pembagian tugas yang baik, maka yang terjadi justru munculnya isu-isu persaingan tentang siapa yang paling berjasa. Bukan tidak mungkin, dengan adanya Densus ini, terjadi kompetisi antar lembaga yang tidak sehat dan pada akhirnya akan menguntungkan para koruptor.
Sisi lain, wacana ini justru bisa menguatkan KPK dalam menjalankan tugasnya, sekali lagi, asalkan ada pembagian tupoksi yang jelas di antara ke-2nya. Sebagai contoh, jika KPK berhak menangani kasus-kasus korupsi yang memiliki nominal lebih 1 miliar, maka Densus ini bisa mengambil bagian untuk kasus korupsi yang kurang dari 1 miliar. Ini sekedar contoh. Apapun itu, intinya, tanpa adanya koordinasi yang baik, maka Densus Antikorupsi bentukan Polri ini justru bisa menjadi penghambat.
Kerjasama yang apik antara KPK dan Polri dalam eradikasi korupsi memang seharusnya dilakukan sejak lama. Apalagi kita dihadapkan pada kenyataan bahwa KPK semakin kewalahan melakukan tugas-tugas pemberantasan korupsi. Buktinya, prioritas KPK sekarang masih cenderung kepada "terapi kuratif", tapi seolah mengesampingkan tindakan preventif. Di titik inilah, KPK dan Polri juga bisa saling bersinergi.
Hal selanjutnya yang mesti dipikirkan sebelum membentuk Densus ini terkait dengan pengembalian kepercayaan publik terhadap kinerja kepolisian. Hal ini tentu saja bukan tanpa alasan. Kita sudah ketahui bersama betapa lembaga kepolisian akhir-akhir ini menjadi salah satu lembaga penegakan hukum yang sering mendapatkan penilaian negatif dari publik. Sebut saja kasus-kasus seperti kepemilikan rekening gendut petinggi Polri yang sampai sekarang ini belum terkuak secara jelas, kasus korupsi jenderal Djoko Susilo, kasus Labora Sitorus yang menurut beberapa media justru bisa menyeret petinggi-petinggi yang ada di pusat, kasus salah tangkap, kasus pelanggaran HAM yang melibatkan Densus 88, dan sebagian kasus lain. Kasus-kasus di atas adalah sedikit dari sekian banyak alasan mengapa publik makin memicingkan mata terhadap kinerja korps Bhayangkara ini.
Artinya, jika kasus-kasus ini belum bisa diselesaikan dengan baik, sehingga bisa kembali memenangkan hati rakyat, maka pembentukan Densus Antikorupsi justru bisa menjadi bumerang. Biar bagaimanapun, dukungan publik adalah hal yang sangat penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Di tengah peran para mafia hukum yang makin beringas, dukungan masyarakat luas yang bisa menjadi benteng terakhir eksistensi sebuah lembaga-lembaga penegak hukum. Lihat saja KPK. Saya bisa katakan bahwa yang membuat KPK bertahan sampai sekarang karena adanya dukungan publik yang begitu luas.
Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Mengembalikan kepercayaan publik kepada kepolisian butuh upaya keras. Tapi, ini tidak berarti bahwa langkah ini tidak bisa dilakukan. Komjen Sutarman harus bisa bersikap tegas menindak segala hal yang justru membuat institusi Polri makin terbenam.
Saya pikir dua hal inilah yang betul-betul perlu dituntaskan pembahasannya sebelum Densus ini dibentuk. Jika hal-hal yang saya sampaikan di atas bisa diselesaikan, maka Densus Antikorupsi bukan menjadi masalah dalam upaya pemberantasan korupsi, justru bisa menjadi tambahan kekuatan.
Terakhir, sejatinya tugas pemberantasan korupsi itu memang sudah menjadi ranah kepolisian. Dengan kata lain, tanpa dibentuk Densus pun, tugas pemberantasan korupsi tetap melekat pada institusi berbaju coklat ini. Tinggal diperkuat saja dengan adanya lembaga seperti Densus ini. Lagipula, jika suatu ketika KPK telah dibubarkan karena angka korupsi kita sudah semakin rendah, maka Densus Antikorupsi inilah yang mungkin bisa menjadi suksesornya.