Awal dirimu mulai populer, aku begitu senang. Wajah lugumu, membuatku seolah tak berdaya untuk menerima kesan "ndeso"mu itu. Aksi blusukanmu selalu sukses membuatku berdecak kagum. Bukan hanya diriku, tetapi jutaan warga Indonesia seolah terhipnotis melihat laku lampahmu itu. Kami jatuh cinta padamu.
Kompasiana menjadi ajang rilis tulisan-tulisan terkait dirimu. Puluhan tulisan yang sempat kuposting di media ini selalu mengelu-elukanmu. Aku berharap agar semangatmu untuk blusukan selalu dicontoh oleh semua pejabat di negeri ini. Tak pelak, harapan begitu besar kami tumpahkan untukmu. Harapan untuk memperbaiki ibukota Negara Indonesia, Jakarta.
Namun, seiring waktu, aku menangkap sebuah kejanggalan dari semua informasi di media tentang dirimu. Kejanggalan itulah yang akhirnya menjadi titik balik sikap dan penilaianku terhadapmu. Ada yang salah dan ganjil dari pemberitaan-pemberitaan tentang dirimu. Aku tak habis pikir kenapa pemberitaanmu cenderung sangat berlebih-lebihan. Bahkan, engkau pergi pipis saja, media memberitakannya dengan senang hati.
Kata orang-orang bijak jika ada sesuatu yang berlebih-lebihan, maka itu berarti ada yang salah. Katanya, hidup itu haruslah proporsional. Jangan terlalu berlebih-lebihan dalam segala hal. Jangan pula terlalu sedikit. "Yang sedang-sedang saja, yang penting dia setia," begitu lirik sebuah lagu dangdut. Saat mengamati fenomena ini, aku mulai mencari dan mencari mengapa seperti ini.
Namun, belum sempat jawaban atas pencarianku ditemukan, engkau kembali berbuat sesuatu yang menjadikanku semakin menjauh darimu. Engkau ternyata berani melanggar puluhan janji yang pernah kau ucapkan saat kontestasi pilkada dulu. Janji-janji yang seharusnya memiliki konsekuensi pertanggungjawaban justru dengan mudahnya engkau khianati. Aku tak menyangka kau tega berbuat seperti itu. Kesimpulannya, "Engkau yang dulu, bukanlah yang sekarang," begitu bunyi lirik sebuah tembang.
Sekarang engkau telah menjadi capres sebuah partai. Itu berarti bahwa untuk menang, maka engkau akan kembali mengucapkan janji. Untuk bisa memenangkan hati rakyat, tidak bisa tidak, puluhan bahkan ratusan janji harus dikeluarkan lagi dari lisanmu. Aku tidak tahu apakah sakralitas janjimu sekarang ada bedanya dengan janji yang telah engkau langgar saat pilkada lalu.
Pak, tunjukkan aku cara agar bisa mempercayai janji-janjimu...!
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H