Kaget campur heran.
Yah...itulah ekspresi yang pertama kali saya tampakkan saat mendengar jawaban dari seorang teman yang notabene lahir dan besar di Amerika Serikat tentang GRE.
Apa pasal?
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa untuk bisa diterima di universitas di AS, terutama yang ingin melanjutkan ke jenjang pasca sarjana, maka salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah menjalani tes Graduate Record Examinations (GRE). Secara umum, GRE Test mirip dengan Tes Potensi Akademik (TPA) yang sering kita jumpai saat ingin mendaftar di institusi tertentu seperti mendaftar jadi pegawai negeri sipil dan saat ujian masuk perguruan tinggi.
GRE sendiri terbagi atas 3 bagian utama yakni verbal section, quantitative section dan analytical writing section. Dalam verbal section, maka peserta akan disuguhi pertanyaan sinonim, antonim, melengkapi kalimat, dan beberapa bentuk pertanyaan lainnya yang sangat terkait dengan penguasaan vocabulary kita. Intinya, carilah jawaban yang paling tepat. Namun, proses pemilihan itu tidak segampang yang saya bayangkan. Ternyata, kata-kata yang ada dalam pilihan jawaban yang diberikan adalah kata-kata yang sangat akademis dan mungkin juga ada yang slang, sehingga rata-rata kata yang ada dalam pilihan jawaban terdengar asing, bahkan belum pernah terdengar oleh saya sebelumnya. Sebagai orang yang lahir, tumbuh dan besar di Indonesia, maka kata-kata asing itu akan menimbulkan kesukaran luar biasa dalam menjawab soal yang diberikan. Alhasil, saya harus mengulangi tes sampai 2 kali demi memenuhi batas minimal skor GRE yang ditentukan oleh universitas di AS.
Nah, di sinilah alasan mengapa saya kaget mendengar jawaban beberapa teman saya tersebut. Saya awalnya berpikir bahwa tes GRE itu, utamanya verbal tes, hanya sukar bagi orang-orang yang berasal dari luar Amerika. Ternyata, teman Amerika saya ini mengaku bahwa dia dan beberapa temannya pun mengalami kesulitan menjawab verbal tes dalam GRE. Bukan sekedar sukar, mereka pun seringkali menemukan kata yang belum pernah mereka dengar. Alamak...! Saya mengira kesukaran itu hanya dihadapi oleh saya. Hehe. Atas dasar ini, GRE pun menjadi momok bagi sebagian mahasiswa undergraduate yang ingin lanjut ke tingkat graduate.
Adapun untuk tes kuantitatif, tidak sesukar verbal test. Karena sudah beberapa kali ikut tes TPA, jenis pertanyaannya pun rada-rada mirip. Bahasa yang digunakan dalam pertanyaan yang diberikan pun relatif lebih mudah dipahami. Untuk analytical writing, sedikit banyak kita bisa lebih mudah mengerjakannya. Hal ini dibantu oleh pengalaman saya sebelumnya di tes IELTS dimana salah satu bagiannya adalah writing section.
Intinya, verbal test yang diberikan saat GRE merupakan bagian tersulit bagi saya. Tentunya, hal ini tidak berlaku umum. Bagi sebagian orang yang berkecimpung di dunia komunikasi, lingustik atau yang telah bersinggungan dengan bahasa Inggris sekian lama, maka bagian ini bisa saja menjadi sangat mudah.
Salam GRE.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H