Keriuhan politik ini berawal pada bulan April, tepatnya 9 April 2014. Saat itu, ratusan juta rakyat Indonesia memberikan hak pilihnya untuk menentukan siapa saja yang akan menduduki kursi empuk untuk menjadi wakil rakyat baik di lembaga legislatif daerah maupun pusat. Bahkan, jauh sebelum itu, riuh pesta rakyat ini sudah menggema. Berbulan-bulan sebelumnya, gaungnya terdengar keras di seantero negeri. Sejak saat itu, hiruk-pikuk politik telah resmi melingkupi bangsa Indonesia.
Hasil pemilihan legislatif menempatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi jawara. Dengan suara sekitar 18.95%, PDIP sukses menjuarai ritual 5 tahunan ini. Namun, dengan statusnya sebagai juara, PDIP ternyata belum bisa memastikan kursi DPR yang selama ini menjadi jatah pemenang pemilu legislatif pasca reveisi UU MD3. Hujatan atas pihak-pihak yang mendukung revisi UU MD3 begitu keras gaungnya. Twitter dipenuhi hujatan dan, tentunya, dukungan. Facebook dipenuhi postingan opini dari sang pemilik akun. Pokoknya ramai...!
Keriuhan politik semakin melanda tatkala bangsa ini beranjak kepada fase selanjutnya yakni pemilihan presiden. Calon presiden-wakil presiden yang hanya berjumlah 2 pasang itu menjadi salah satu alasan mengapa pilpres kali ini menjadi sangat ketat. Rakyat Indonesia terbelah menjadi 2 kekuatan. Ada yang mendukung mati-matian pasangan nomor urut 1, Prabowo, yang diusung oleh Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri atas Gerindra, Golkar, PKS, PPP, PAN, dan PBB. Namun, ada juga yang membela pasangan nomor urut 2, Jokowi-JK, yang diusung oleh PDIP, Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI.
Ritual pilpres kali ini menjadi momen yang paling menguras energi dan sumber daya. Di semua tempat, di warung, di gang, di twitter, di facebook, di atas kendaraan, bahkan di dalam rumah ibadah pun, tidak ada yang luput dari pembicaraan tentang pertarungan 2 pasangan calon ini. Tidak jarang, konflik sedikit terbetik. Perselisihan rentan terjadi. Ada keluarga yang bermusuhan hanya karena berbeda pilihan. Ada teman yang menjadi musuh hanya karena mengetahui bahwa sahabatnya mempunyai pilihan yang berbeda di pilpres ini. Akhirnya, pada tanggal 9 Juli 2014, semuanya ditentukan. Hasil akhir KPU menunjukkan bahwa pasangan nomor urut 2, Jokowi-JK, memenangkan pertarungan.
Pasca ditetapkannya pemenang pilpres oleh KPU yang merujuk pada kemenangan Jokowi-JK, sebagian besar pihak berharap hiruk-pikuk politik ini bisa berkurang. Banyak masyarakat yang menginginkan agar ada rekonsiliasi pasca pengumuman KPU itu. Namun, yang terjadi keriuhan ini justru menjadi-jadi karena pasangan nomor urut 1, Prabowo-Hatta, yang dimotori oleh KMP mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas putusan KPU.
Lagi-lagi hiruk-pikuk terus terjadi. Energi kembali terkuras. Rakyat kembali disuguhkan tontonan politik di media-media yang notabene sudah menjadi partisan. Berita tentang sidang di MK pun selalu mendapatkan porsi lebih. Bahkan, melalui sidang MK ini, banyak yang tiba-tiba menjadi terkenal. Ramai lagiiii...!!!
Tanggal 21 Agustus 2014, MK memutuskan untuk menolak seluruh gugatan dari pihak Prabowo-Hatta. Itu berarti bahwa presiden dan wakil presiden RI periode 2014-2019 menjadi milik Jokowi-JK. Lagi-lagi kedamaian mulai dihembuskan. Harapan agar semuanya segera berakhir dengan ketenangan terus digulirkan.
Aduhai, ternyata itu semua masih sekedar harapan. Apa pasal? Pasca urusan pilpres usai, muncul lagi arena pertempuran baru. Apalagi kalau bukan polemik tentang RUU Pilkada. Polemik ini kembali melibatkan 2 kekuatan politik yang memang mulai berseteru sejak pilpres bulan Juli lalu. Koalisi Merah Putih mendukung dihapusnya pilkada langsung dan mengusulkan agar pilkada dilakukan oleh DPRD. Sebaliknya, koalisi Jokowi-JK menentang ide dari KMP ini. Koalisi yang satu ini tetap mendukung diberlakukannya pilkada langsung.
Kembali lagi media-media dipenuhi berita yang saling menghujat. Pihak ini menentang pendapat pihak itu. Pihak itu juga terus membantah opini pihak ini. Saling mematahkan argumen terus dilakukan oleh masing-masing pihak. Ramai ibarat pasar malam. Rakyat terus disodorkan tontonan ini. Hiruk-pikuk ini ternyata masih belum pergi.
Tanggal 25 September 2014, setelah melalui perdebatan alot dan sedikit kericuhan dalam sidang paripurna, akhirnya diputuskan bahwa pilkada akan dilakukan melalui DPRD. Pilkada langsung akhirnya berakhir masanya. Setelah melalui proses voting, KMP akhirnya memenangkan pertarungan. Dengan total suara sebanyak 226, KMP sukses mempecundangi koalisi Jokowi-JK yang hanya memperoleh 135 suara.
Pasca voting, ternyata cerita belum benar-benar selesai. Hasil voting ini menjadi alasan untuk memunculkan keriuhan baru. Pihak yang kalah terus berteriak. Alasan inilah, itulah. Keriuhan semakin menjadi-jadi. Jika dulu pihak ini mengatakan "legowolah" kepada pihak itu, maka sekarang pihak itu yang mengatakan "legowolah" kepada pihak ini. Namun, ternyata kata "legowo" itu hanyalah disampaikan tatkala kita sedang berhura-hura. Sebaliknya, saat kita sedang terpental jatuh, "legowo" itu sangatlah sukar untuk dijalani.