[caption caption="Caption gambar di artikel berita yang menyatakan poster tersebut merupakan bentuk kampanye LGBT. Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/22/o1c0k2318-ini-klarifikasi-sgrcui-terkait-isu-penyebaran-homo-lesbian-di-kampus-ui"][/caption]Masyarakat berubah dengan cepat seiring waktu. Dinamika yang terjadi terkadang mengejutkan kita yang senantiasa menyaksikan perubahannya. Pro dan kontra adalah hal biasa, tergantung sudut pandangnya.
Singkat cerita, saya baru saja membaca sebuah artikel berita daring dari republika.co.id. Saya membaca sebuah kisah mengenai seorang alumnus Universitas Indonesia yang tergabung dalam Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) Universitas Indonesia. Organisasi tersebut memberikan pelayanan konseling kepada orang-orang mengenai seksualitas. Namun, menurut media online tersebut, tindakan ini dianggap sebagai kampanye LGBT.
Apa yang terjadi dengan media massa kita? Apakah ada keberpihakan? Saya sendiri merupakan anggota sebuah lembaga pers mahasiswa, dan saya paham bahwa keberpihakan adalah sebuah hal yang biasa di dunia jurnalistik, apalagi di tingkat nasional. Pertanyaan mendasar kembali muncul, etiskah?
Saya merasa bahwa tugas media adalah mengangkat cerita-cerita yang memiliki nilai berita (newsworth) tanpa keberpihakan dan tanpa memelintir fakta yang ada. Namun, media kini telah dipandang sebagai sebuah bisnis, yang kadangkala harus menghalalkan segala cara untuk tetap dapat bertahan hidup. Kebohongan yang bombastis akan mengangkat jumlah traffic sebuah web berita dan menjadikannya lebih profitable. Itu kenyataan bisnis.
Ketika ada seseorang yang berusaha berbuat baik, yang bersimpati kepada sesamanya yang merasa kesulitan dalam menjalani hidup karena suatu hal yang membuatnya berbeda dari anggota masyarakat lainnya, yang berusaha menolong orang-orang agar dapat tetap hidup dan dipandang sebagai manusia didalam masyarakatnya sendiri, akhirnya dicap sebagai seorang public enemy. Hashtag “#lgbt masuk kampus” dan “#lgbt serang kampus” juga disematkan pada setiap artikel yang membahas hal tersebut, bahkan pada artikel yang membahas keberatan SGRC UI terhadap Republika.co.id atas berita-berita yang dirilis berkaitan dengan organisasi tersebut. Ya, tentu kita paham, kesejalanan antara media dengan mayoritas masyarakat akan mengangkat rating kantor berita tersebut.
Saya pun berusaha untuk tidak berpihak, saya berusaha memanusiakan manusia. Mereka juga manusia Indonesia yang berhak hidup bebas, terutama bebas berpendapat, bebas berkehendak, dan bebas dari rasa takut. Saya mendukung kebebasan mereka selama keberadaan mereka tidak merugikan kita, masyarakat Indonesia. Saya pun belum ada bukti bahwa mereka berusaha menyebarkan LGBT, karena sepengetahuan saya orientasi seksual adalah sesuatu yang merupakan bawaan lahiriah dimana kita tidak dapat merubah orientasi seksual mereka, juga mereka tidak dapat merubah orientasi seksual mereka.
Jika menurut anda pemahaman saya terhadap agama tergolong kurang, ingatlah bahwa anda selalu punya hak untuk berbicara seperti itu. Apa yang saya pahami adalah agama saya mengajarkan cinta kasih. Saya tidak membenci perbedaan. Perbedaan itu variasi dalam hidup, variasi yang positif. Selama perbedaan tersebut tidak merugikan saya, maka saya tidak akan campur tangan.
Bisnis tentulah mencari untung, akan tetapi selalu ada cara untuk tidak menghilangkan kemanusiaan itu sendiri dari kehidupan kita sebagai manusia.
Akhir kata, ini hanya opini saya terhadap hal yang sehari-hari saya hadapi. Opini ini hanya buah pemikiran yang ingin saya bagikan kepada anda para pembaca. Sekian!
Referensi:
Ini Klarifikasi SGRC-UI Terkait Isu Penyebaran Homo-Lesbian di Kampus UI