Mohon tunggu...
Suryani Firdaus
Suryani Firdaus Mohon Tunggu... -

IRT, Social Entrepreneur, pernah aktif di Kampus,Ektra -Kampus dan beberapa kajian sosial poliik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jakarta, Pengemis dan Problem Sosial..

28 November 2013   00:25 Diperbarui: 13 Juli 2015   23:58 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tersentak kita ketika hari ini beberapa media memberitakan adanya pengemis Walang bin Kilon (54) yang mengantongi Rp 25 juta dari hasil mengemis selama 15 hari di Jakarta Selatan. Tidak percaya, mungkin itu reaksi pertama kita ketika mendengar berita tersebut, betapa tidak seorang pengemis mempunyai pendapatan yang fantastis. Kondisi macam apa ini sebenarnya? ketika ada realitas sosial yang justru kontradiktif. Selama ini masyarakat sudah terlanjur punya persepsi bahwa pengemis adalah lapisan masyarakat terbawah dan secara sosial ekonomi mengalami kondisi yang serba susah dan kekurangan.Dan ini menjadi tanda tanya kita bersama ada apa ini dengan masyarakat kita?  apakah telah terjadisebuah perubahan sosial masyarakat? atau apa?

Kontradiksi Sosial

Dalam kacamata sosial dan pemahaman sosial kita semua maka pengemis dikategorikan adalah golongan orang tidak beruntung, tidak punya pekerjaan dan mata pencaharian untuk menopang kebutuhan hidupnya sehingga perlu uluran tangan dari orang lain. Kontruksi sosial ini tidak lahir begitu saja tapi karena adanya realitas yang tidak terbantahkan dalam kontruksi sosial ekonomi dan politik masyarakat. Keterbatasan, itulah mungkin yang menjadi alasan mereka melakukan kegiatan meminta-minta dari orang lain, keterbatasan ini bisa dimaknai lebih luas yaitu keterbatasan secara kapasitas individu ( baik skill, cacat fisik/ mental) maupun secara sosial ekonomi yaitu tidak adanya akses pada sumber-sumber ekonomi yaitu lapangan pekerjaan. Pengemis memang menjadi problem sosial bukan hanya dinegara berkembang seperti Indonesia tapi ternyata juga dinegara-negara maju sekelas negara-negara eropa.  Karena kemiskinan satu sisi adalah sisi lain dari sisi residu pembangunan yang tidak merata, dan ini terjadi dalam setiap proses pembangunan,perbedaannya hanya pada ketegori dan definisi kemiskinan itu sendiri. Tapi yang mendasar adalah ketika saat ini kemiskinan bukan hanya menjadi realitas sosial yang tidak terbantahkan namun justru menjadi komoditas sosial. Kemiskinan dijadikan alasan dan pembenar untuk mendapatkan keuntungan yang besar,sebagai komoditas bukan hanya untuk mengatasi problem kemiskinan itu sendiri namun dijadikan alat untuk melakukan kapitalisasi. Tanpa melakukan generalisasi terhadap contoh kasus seperti diatas tapi ini menjadi sebuah kajian yang serius bahwa ada perspektif yang mengalami pergeseran terhadap pemahaman kondisi kemiskinan dan kegiatan pengemis terutama dikota-kota besar. Bagaimana tidak mereka melakukan kegiatan meminta-minta,menghiba dan menjadikan komoditas atas keterbatasan mereka untuk mengumpulkan pundi-pundi yang tidak semestinya. Dus keterbatasan itu mereka buat, mereka rekayasa karena hanya untuk mendapatkan simpati.

Peminta, Pemberi dan Filantropi

Setidaknya kalau kita memahami secara utuh maka peminta-minta tidak akan bertahan lama apabila tidak ada pemberi, dua sisi yang melengkapi. Mereka pengemis bisa bertahan karena mereka mengetahui betul bahwa masyarakat kita mudah iba,mudah tidak tega melihat orang yang dengan keterbatasan. Apalagi kalau kita sadari adanya kontruksi sosial dan agama yang kadang menjadi doktrin bahwa memberikan sesuatu kepada fakir miskin adalah ibadah. Fialantropi sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial masayarakat kita. Sisi ini diakui atau tidak tidak juga justru kadang menjadi motivasi bagi para pengemis untuk selalu melakukan aktivitas meminta-minta.  Tidak bermaksud menyalahkan tapi memang harus ada pendekatan yang lebih tepat untuk mengatasi persoalan ini,karena kalau tidak justru nilai baik dari filantropi akan membuahkan kontardiksi yaitu adanya ketergantungan dari peminta-minta(pengemis) dan itu justru akan melanggengkan proses itu.

Stop Memberikan Uang Pada Pengemis

Mungkin langkah ini terlihat kasar dan ekstrim tapi paling tidak bisa sedikit memutus mata rantai dari reproduksi pengemis yang semakin tidak terkontrol. Kalau memang mereka membutuhkan makan maka berikan mereka makan jangan uang, mungkin ini lebih tepat. Mari kita bersama-sama peduli pada pengemis dengan tidak memberikan uang. Dan tentunya pemerintah harus membuat kebijakan yang mengena untuk mengatasi persoalan ini, bukan hanya pada menghentikan aktivitas pengemis dengan meminta-mintanya  tapi membuat terobosan untuk mengatasi persoalan sosial ini. Karena ini bukan hanya soal ekonomi semata tapi problem sosial juga sehingga membutuhka tool yang tepat juga disamping mengatasi persoalan ekonominya juga mengobati penyakit sosial.

Mari Kita Peduli Dengan Berbuat Yang Tepat...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun