Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Tak Terkenal, yang Memberi Inspirasi

26 April 2011   23:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:21 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Satu hal yang membuat saya masih sumringah menyebut diri sebagai bagian dari bangsa yang yang dikipasi bendera merah putih, teman-teman yang jujur.

Sedikit berefleksi, jika mencari 1 dari 10 orang Indonesia yang jujur. Maka, itu sudah luar biasa jika yang satu itu adalah figur yang jujur. Saya mengira tepat untuk menyebut luar biasa karena itu nyaris dirasa mustahil bisa menemukan itu.

Jangan dulu menuding mereka yang menjadi penguasa yang mungkin 'terpaksa' tidak jujur--beberapa saja mungkin ya?--untuk pertahankan kekuasaannya. Tapi kita susuri saja dulu pasar-pasar loak yang dipastikan di sana tak ada yang mengenali. Harga cabe satu ons cuma seribu rupiah, bisa menjadi limaribu. Penyebabnya? Anda diyakini bukan orang terbiasa membeli di pasar loak, dan pasti tidak tahu harga yang sebenarnya. Barangkali demikian yang terpikir oleh 'oknum' penjual cabe tadi (lha, kata oknum tidak melulu harus untuk aparat negara toh?).

Beranjak sedikit lagi, melangkah saja ke pasar ikan. Taruhlah sedang berselera dengan ikan-ikan kecil. Menyentuh sedikit beberapa ikan yang masih segar, minta beli sekian ribu. Yang segar tadi memang diberikan. Nah, karena memang uang yang Anda beri tadi tidak cuma beberapa ikan kecil saja, melainkan sedikit lebih banyak. Jangan kaget tiba di rumah untuk menyiangi ikan, harus menemukan lebih setengah ikan sedang masa proses membusuk.

Atau, begini saja. Datanglah ke kota yang jarang dikunjungi. Naiki kendaraan umum di sana. Dari angkutan kota--mungkin--Anda sudah diperas sekali. Nanti, kalau harus naik becak dan dilanjutkan dengan pakai ojek lagi, ikhlas sajalah kalau melihat isi dompet sepertinya demikian cepat susut.

Dalam kondisi itu, bolehlah sesekali memilih salahkan diri sendiri. Ya, kenapa tidak tanya-tanya dulu (seperti yang kerap saya alami sendiri juga).

Ya, lupakan kenangan buruk itu, kita cari saja istri lain (lho?). Maksud saya, kita arahkan pikiran saja pada orang-orang yang masih jujur seperti halnya beberapa teman saya yang jujur, yang ingin saya ceritakan tadi. Toh, saat perhatian lebih ditujukan pada yang baik-baik maka pikiran akan menampung yang baik. Selanjutnya, hampir biasa dipastikan lebih mampu mengsugesti kita untuk juga lakukan yang baik-baik. Ya kalau terus biarkan pikiran untuk ingat yang buruk-buruk, juga jangan kaget kalau pikiran bekerja diam-diam membentuk kita menjadi orang yang berkelakuan buruk pula (lha kok saya jadi ngegurui?).

Oke, cukup ngalor ngidul. Beberapa teman yang saya ingin ceritakan, ada temen di Yogyakarta. Dia tukang becak. Tetapi, mungkin ia bisa disebut sebagai tukang becak paling menginspirasi. Keteguhannya pada prinsip kejujuran, di luar dugaan membuat ia menjadi tukang becak yang sekaligus selebriti. Betapa tidak, wisatawan manca negara pun demikian familiar dengannya. Karena dia tidak pergunaka konsep "lha wong dia orang asing." Maka becaknya tidak diubahnya menjadi keris yang menusuk leher pengguna jasanya. Ia menerima tarif seperti normalnya saja. Malah dengan itu rejekinya tetap mengalir juga ke kantongnya.

Kemudian ada juga beberapa teman di kampung dulu. Mereka ingin menjadi aparat dinas anu. Tetapi karena disyaratkan harus membayar dulu sekian puluh juta untuk bisa menjadi abdi negara itu. Mereka lupakan keinginan itu,"Lha, kalau aku milih tetep ke sono. Aku harus jual dulu sawah milik bapakku. Dosaku menjadi ganda pastinya. Aku sudah durhakai orang tuaku karena pergunakan uang untuk menyogok. Dosa pada tanah sawah itu juga yang dari kecil memberikan padi. Yang darinya aku diberi makan oleh bapakku. Juga, apa mungkin aku bisa mendapat rejeki yang baik kalau cara mendapatkannya saja sudah buruk. Dan, kalau rejeki sudah buruk, kemudian dipakai membeli makanan. Apakah makanan dari uang yang sumbernya buruk bisa membantu otakku berpikir baik?" Iya, ini teman yang masih muda yang tidak suka namanya disebut-sebut.

Meski saya memiliki beberapa teman saja seperti ini, tetapi saya bersyukur karena mereka lebih membuat perhatian saya tertarik. Lagi-lagi, ya juga berharap tidak sampai di-skakmat nanti saat sama-sama harus pertanggungjawabkan lakon hidup di dunia.

Mereka. Iya merekalah yang membuat saya masih optimis untuk menyebut diri sebagai orang Indonesia. Karena mereka ajarkan kebaikan dengan sikapnya, meski teramat jarang bicara. Pun, mereka bukan orang-orang terkenal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun