Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Warisan Hurgronje

14 Januari 2010   02:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:28 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_53600" align="alignleft" width="300" caption="mungkin karena terbunuh di nusantara ini, lalu bereinkarnasi kembali di negeri ini. Entahlah (Gbr: Tgk Google)"][/caption] Entah karena dipandang sebagai sebuah kebenaran. Persatuan yang menjadi satu tiang penting negeri ini, ikut diusili beberapa bocah kecil yang baru bisa mengeja. Setelah beberapa kali dibeliaki, mereka merunduk kuyu, tak bisa memberi jawaban apa-apa. Iya, mereka ber-KTP warga negara Indonesia. Sayangnya, tidak ada satu ukuran yang layak dipercaya, seorang warga negara bisa disebut dewasa dan tidaknya. Saat kepentingan disebut perjuangan. Ketika misi terselubung disebut pembelaan terhadap rakyat. Sebagian anak negeri memilih untuk hanya mendengar kalimat-kalimat yang berada di ujung. Alasan yang sempat diutarakan pada saya juga, itu lebih menghemat waktu. Bukankah kesimpulan itu seringkali berada di ujung, wajar kalau memilih mendengar ujung kalimat saja. Maka lahirlah pembela-pembela rakyat. Menetaslah para pejuang-pejuang. Sedangkan dalam beberapa pertemuan, mereka melenggang anggun dengan meninggalkan bau angin dari bagian belakang tubuhnya. Mungkin aku menjadi bagian orang-orang yang tidak terlalu cerdas. Tidak terlalu lihai berargumentasi. Terkadang untuk menjelaskan sesuatu yang nyaris bisa dipastikan benar, masih saja kucoba untuk diamkan. Iya, ini menjadi sebuah dosa pribadiku juga. Sehingga negeri ini selanjutnya lebih mirip rumah besar dengan banyak bocah yang bermain gunung-gunungan dari kotoran. Dalam beberapa kesempatan, saya hanya bisa gemeretakkan gigi. Membiarkan dagu condong ke depan. Tetapi, saat ingin mengayunkan tangan untuk melempar bocah-bocah itu keluar jendela. Mereka yang menyebut diri sebagai sahabat, berdiri di sisi kiri dan kanan, malah membuat tekadku memudar,"tanganmu terlalu kecil," Sergah mereka. Lantas mencoba memburu Atjeh Verslag, mencoba melihat dengan ujung-ujung rambut. Saat sebagian orang memintaku hanya melihat dengan mata. Tidak menjadi persoalan kukira, jika kemudian aku disebut sebagai orang-orang yang salah menggunakan resep. Menyimak, jika Aceh bisa hancur dengan rumusan yang ada di sana, apakah jengkal-jengkal tanah lebih lebar dari itu mungkin untuk juga terhancurkan? Pergulatan itu nyaris merontokkan helai-helai rambutku, dari sejak saat aku seharusnya masih mengeja, tapi memaksa menguyah lembar berdebu itu. Lalu, aku menyimpulkan, oh benar. Kekuatan penghancur tidak pernah mengdefinisikan persoalan besar kecilnya sesuatu. Tetapi, pada terbukanya ruang dengan tidaknya atas kesempatan berjalannya proses penghancuran itu. Aceh, 14 Jan 2010 Zulfikar Akbar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun