[caption id="attachment_79178" align="alignleft" width="300" caption="setiap perjalanan yang memiliki tujuan, tidak pernah memberi sesal (Gbr: Google)"][/caption] Losmen Tua, Pangarang, Bandung Dengan uang tersisa dari perjalanan laiknya seorang musafir. Cari mencari, akhirnya bisa menemukan tempat singgah sementara persis di sudut Kota Bandung. Tarif kamar per malam, Rp 60.000. Kesan pertama masuk, jelas sangat menggoda, bau pesing menyeruak. Sangat menusuk hidung. Sisi keangkuhan memaki,"shit!!! Kok seperti ini?" Secuil kejujuran yang masih tersisa menjawab,"terima dong, pan elu sendiri yang mengambil keputusan untuk nekad keluar dari tanah kelahiranmu. Di sana mungkin kau masih bisa dikeloni ibumi, tetapi tidak di sini. Di tanahmu, kau bisa cerewet untuk bicara ideal dan tidak ideal. Ini, sekali lagi, tidakada tanahmu sejengkalpun. Jadi, jika malam ini kau harus menginap di tempat seperti ini, mbok ya sabar aja." Pilihan yang paling mungkin adalah menerima kesimpulan yang terakhir karena merasa sedikit lebih bijak.
***
Pagi, mencoba mandi. Setelah beberapa gayung air tersiram ke atas tubuh yang terlihat makin kurus. Terlihat saluran air di kamar mandi itu ternyata mampet. Kreatifitas kadar sederhana muncul menunjukkan diri serupa Ksatria Baja Hitam yang pernah saya tonton di satu ketika, kreatifitas itu berbentuk: lompat dari lantai kamar mandi itu, naik sedikit ke atas jamban yang letaknya sedikit lebih tinggi. Yap, jamban yang sangat mengesankan, dengan warna yang tidak jelas. Jamban yang pasti akan membuat mual mereka yang terbiasa dalam kenikmatan hidup. Beruntung aku menjadi aku
***
Keakuan tidak selamanya menjadi sebuah hal yang ditakutkan untuk dipertahankan hanya karena ketakutan untuk dijauhkan. Karena dalam keakuan itu terkadang, seminar hati yang bertema harga diri, sedang berjalan. Tidak bersama riuh manusia yyang kagum. Tetapi, hanya hati, darah, sel dan bagian-bagian tubuh dan jiwa yang bercengkrama dengan diam. Sekali waktu, cacing-cacing yang memaksa untuk bisa menjadi bagian dari acara diskusi tentang harga diri itu, terizinkan untuk bicara,"beri aku makan." Tetapi, nurani tetap menjadi tetua yang lebih diperhitungkan dari semua bagian tubuh dan jiwa, melarang cacing untuk teriak-teriak saat peserta lain sedang terdiam untuk merenung, "kekenyangan tidak lebih penting dari harga diri." "Kelaparan lebih punya kekuatan untuk munculkan kebijaksanaan dan kedekatan dengan Tuhan. Tidak melulu harus dengan kepala yang dipenuhi keserakahan yang dijatuhkan dalam sujud, lalu menyebut diri sebagai kekasih-Nya." Petuah Sang Tetua terlihat cukup berpengaruh. Terbukti, tidak ada lagi suara cacing. Mungkin sudah jatuh tadi pagi ke dalam jamban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H