[caption id="attachment_358229" align="aligncenter" width="565" caption="Citizen Journalism tak selalu menjadi jurnalisme kelas dua - (Gbr: Journalistjan)"][/caption]
Niat baik akan selalu berdampak baik. Itulah yang saya yakini, sehingga akhirnya memutuskan menulis kasus DIKTI di Kompasiana. Walaupun saat seorang rekan saya yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Inggris mengeluhkan masalah itu, saya baru saja pulang dari tempat saya "nguli". Bahkan sudah lewat tengah malam, dan pikiran pun dalam kondisi "tidak terlalu segar". Hingga saya menuliskannya seraya terus berdiskusi, seraya terus menanyakan lebih rinci masalah dialaminya. Selesai saya tulis, publish, dan Kompasiana menunjukkan efeknya.
Ya, setelah kasus itu saya publikasi via Kompasiana, Twitter saya kebanjiran apresiasi dari para mahasiswa penerima. Layaknya bola salju, tanggapan demi tanggapan pun bermunculan. Tak berhenti di sana, beberapa media pun turut mengangkatnya kembali. Di antaranya adalah detik.com, merdeka.com, dan KOMPAS.com.
Walaupun, di tengah perjalanan itu, ada hal yang sempat mengganjal saya. Ya, ini terkait pihak detik.com yang hanya memilih mengutip identitas saya pribadi hanya berupa nama akun saya di Twitter (@zoelfick). Bahkan tidak menyebut Kompasiana yang notabene adalah sumber pertama saya membicarakan kasus tersebut. Etisnya, menurut hemat saya, Kompasiana tidak lagi dilihat sebagai "media kelas dua", hanya karena di sini lebih banyak penyandang status "Citizen Journalist". Toh, jika menyebut Kompasiana sebagai sumber, tak lantas berarti bahwa berita itu nantinya akan terlihat kurang berkelas, dan Citizen Journalist tak perlu distratakan di bawah jurnalis murni.
Namun, saya pribadi, di sisi lain sangat mengapresiasi kesediaan berbagai media tersebut untuk turut mengampanyekan kasus itu dan masalah yang sedang dihadapi oleh para mahasiswa strata-3 di luar negeri itu.
Lantaran, terlepas ada beberapa respons yang negatif yang juga sempat saya dapatkan, upaya campaign tersebut sudah mulai membuahkan hasil.
Rekan saya, narasumber pertama saya saat mengangkat polemik itu, menjelaskan hasil positif yang sudah mereka dapatkan, menyusul campaign yang saya lakukan lewat Kompasiana. Pertama, ia menyebut, pihak DIKTI sudah menyampaikan permintaan maaf lewat forum mereka. Dikatakan olehnya, ini adalah sesuatu yang benar-benar baru, karena tak pernah terjadi sebelumnya. Alih-alih berkomunikasi lewat forum itu, biasanya, sekian banyak pertanyaan atas berbagai masalah terkait beasiswa itu tak pernah ditanggapi pihak DIKTI.
Lebih menggembirakan lagi bagi saya adalah kabar lanjutan dari rekan saya ini, bahwa pihak DIKTI akhirnya merilis daftar pencairan dana beasiswa yang tertunda hingga berbulan-bulan itu.
Meski, masih berdasarkan kabar dari rekan saya, per Selasa (9/9), masih tersisa 412 mahasiswa lagi yang belum mendapatkannya. Pihak DIKTI, menurutnya, menjelaskan kendala atas mahasiswa yang tersisa--belum bisa dicairkan--itu karena adanya "progress report yang belum di-submit". Setidaknya, hemat saya, pihak terkait sudah menunjukkan iktikad baik di tengah keluhan ribuan para mahasiswa yang sempat dibuat terombang-ambing karena terbiarkan tanpa adanya kepastian.
Kegembiraan membuncah. Mendapatkan kabar ini, lagi-lagi sepulang dari tempat "nguli" lewat tengah malam, memberikan kelegaan besar di hati saya. Tak bermaksud mendramatisasi, terasakan keharuan, niat baik mengangkat kasus tersebut akhirnya menampakkan hasilnya.
Tapi, terlepas dari itu, di sinilah saya melihat lebih terang bagaimana efek media seperti Kompasiana. Bahwa, platform "Citizen Journalism" yang diangkat media ini bukanlah hal sederhana. Di sini tersimpan kekuatan, terutama untuk mem-blow up isu-isu penting.