[caption id="attachment_58187" align="alignleft" width="200" caption="Mari mengayun cangkul, dengan cangkul yang kuasa kita ayunkan (Gbr: Tgk Google)"][/caption] Terlalu sering terdengar, orang-orang menyebut keringat di atas ranjang-ranjang jauh lebih harum dari keringat yang keluar dari perasan matahari. Tetapi, mereka yang memilih untuk diperas oleh tangan matahari, membuat tubuh mereka seperti terpanggang, hangus. Merasa bahwa keringat mereka itulah yang paling harum.
***
Teringat pada hamba Tuhan yang melihat tangan sahabatnya yang begitu kasar karena terlalu sering mengayuh cangkul-cangkul. Ia berucap,"tangan itu kelak yang akan menjadi penghalang sentuhan api neraka." Tuhan menghargai keringat, Tuhan juga sangat menghargai peluh yang mengalir di kening mereka yang menggeluti hidup dengan menjadikan kepalanya sebagai cangkul. Teringat satu ketika, saat jiwa mengajak bermusyawarah dengan hati, juga prajuritnya rasa, pikiran dan semua yang berada di dalam memutuskan untuk mengambil cara mengeluarkan keringat dengan cangkul. Tidak butuh besi, karena besi itu juga seringkali dijadikan senapan-senapan dan parang juga pedang untuk membunuh banyak manusia. Tetapi cangkul itu dibuat dari tempurung kepala, milikku. Terlihat juga, ada banyak manusia lain yang memilih serupa, menjadi tempurung kepala dengan semua isinya sebagai bahan baku untuk dijadikan cangkul. Akupun menjadikan cangkul itu untuk kuayunkan di banyak sawah yang tidak kubeli. Selain, dari sisa-sisa uang lebih makan siang beberapa pekan, membelikan beberapa buku yang kukira bisa menjadi nyawa, sekaligus menjadi tanah-tanah yang bisa kusentuhkan cangkulku.
***
Belum ada padi yang begitu melimpah memang, padi yang bisa kujual yang membuatku menjadi saudagar. Tetapi aku berkeyakinan, padi-padi yang bisa kupanen, meski masih sedikit mungkin saja bisa menjadi penguat hati beberapa orang yang berada di sekelilingku. Mereka yang masih bisa kusentuh dengan tanganku yang bisa disebut kurus ini. Kuyakini, sentuhan itu, saat diberikan dengan cinta. Maka ia akan menjadi elusan lembut salju di tubuh manusia yang kepanasan ditengah perjalanan gurun kehidupan. Ini pilihan hidup, dan ini pelajaran konsistensi yang kucoba tancapkan serupa trisula di dalam jiwa. Hingga gagang trisula konsistensi itupun masuk kedalam hingga tak ada yang kuasa mencabutnya. Pilihan hidup kutahu tidak selamanya menjadi emas dan berlian-berlian hanya dalam waktu seketika, tidak semudah membalik telapak tangan. Tetapi ia bisa saja menjadi butir-butir salju itu. Menghilangkan kekeringan, menjadi pengobat jiwa, pembunuh jenuh, pencerabut nyeri dari banyak hati yang mungkin pernah beberapa waktu terkena duri. Jika cangkul ini bisa menjadi penguat untuk banyak manusia. Tidak masalah apakah padi-padi itu akan menjadi isi piring-piringku yang tak berbentuk ataukah piring-piring manusia lain. Karena pelajaran ketulusan yang pernah kueja di sebuah masa, memberi tidak selamanya harus berakhir dengan penerimaan. Kembalikan saja pada kebijaksanaan Tuhan yang selalu bisa membayar sesuatu dengan harga terpantas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H