Kuburan itu lengang. Hanya sesekali terdengar suara siamang bersahut-sahutan. Di balik tanah yang nyaris rata itu, seraut wajah seperti sedang menatapku dengan mata penuh api.
Mata itu. Iya, mata yang kerap bersitatap denganku. Saat bicara tentang harga darah dan nyawa."Ada yang lebih mahal dari itu, harga diri." Katanya suatu ketika. Jauh sebelum 19 butir peluru melesak ke dalam tubuhnya."Memiliki nyawa dan darah. Tanpa harga diri jauh lebih buruk daripada mati!"
Aku hafal sekali. Setiap kalimat yang meluncur dari lidahnya pasti berisi tekanan-tekanan, isyarat penegasan.
"Endatu kita tidak memenjarakan otaknya antara hidup dengan mati. Tidak membelenggu hidup dengan ketakutan. Sayang sekali, setelah mereka mati, lebih banyak dari kita yang malah ketakutan pada lapar. Entah otak mereka tidak cukup bisa berpikir. Yang punggungi langit dan tidak punya pikiran saja jarang lapar." Ujarnya ketika itu persis beriringan dengan matahari yang sedang beranjak tepat di atas kepala. Sambil melihat beberapa kerbau yang sedang berlarian merobek  pematang.
***
Malam itu, Her baru saja ijab kabul. Mutia seorang gadis yang baru beranjak 17 tahun resmi menjadi istrinya. Seulas senyum mengembang di wajahnya. Masih membekas senyum itu sampai tanganku menjabat tangannya untuk ucapkan selamat.
Plak!
Sebuah pukulan mendarat ke kepalaku.
Gelap.
Lalu sedikit bening.
Sedikit bisa kulihat nanar. Beberapa sosok tegap menyeruak acara pernikahan yang tidak terlalu banyak yang hadiri itu. Sebuah tendangan mendarat kembali dari belakang. Ujung lars mengenai igaku.