Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Takaran Kedewasaan

3 April 2010   14:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:01 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_109637" align="alignleft" width="245" caption="Kausalitas, hukum yang hanya dipahami orang-orang yang benar-benar dewasa"][/caption]

Detik ini, terpikirkah oleh kita, apa yang kelak dikatakan orang-orang tentang kita jika kematian datang dan kita tidak mungkin lagi untuk membela diri?

Mungkin saja, dalam setiap perjalanan waktu, banyak dari kita yang terus saja mengarahkan pikiran untuk mencari tameng, perisai atau apapun namanya. Intinya, segala sesuatu yang dikira paling mungkin dipergunakan untuk membela diri, lebih menjadi fokus pikiran. Mungkin itu pilihan banyak orang cerdas, orang yang tahu bahwa dalam sedemikian kompleks dinamika hidup bukan tidak mungkin akan berbenturan dengan banyak hal. Tetapi, orang cerdas bukan segala-galanya. Apalagi jika kecerdasan tersebut lebih berguna hanya untuk menuhankan diri sendiri, dan membuat mata kian rapat tertutup pada Tuhan yang sebenarnya. Berapa juta kali kita jadikan kejujuran sebagai bahan obrolan, namun dalam jiwa paling dalam kita seringkali mengangguk bahwa kita sendiri juga masih ragu sudah menjadi manusia yang jujur ataukah hanya berkhotbah tentang kejujuran sekedar untuk menarik simpati orang-orang disekitar. Tetangga, rekan, atau siapa saja yang ada di sekeliling. Kembali, kecerdasan hanya bisa memberi manfaat untuk diri sendiri. Sedangkan yang berada di luar diri cenderung terlihat lebih tidak berharga. Yang berada di luar diri itu bisa berupa orang-orang yang jauh lebih tua karena berpikir, mereka hanya orang tua yang tidak punya kekuatan untuk berpikir yang jernih. Ah, mereka jauh lebih muda, pengalaman hidup juga paling hanya alakadarnya. Heuleuh, mereka itu memang sebaya saya tetapi jengkal-jengkal tanah yang kupijak lebih jauh dari mereka. Dan kita biarkan itu didalam jiwa, sekalipun senyum tetap kita tebarkan. Seret. Kita terseret. Maaf, jika penggunaan kata kita terasa tidak berkenan di hati anda yang membaca [caption id="attachment_109638" align="alignright" width="228" caption="Mereka yang menjadikan dunia untuk bertempat di hati tidak akan tahu definisi kedewasaan. Sekalipun mereka mati dalam tumpukan buku (Gbr: Reading Islam)"][/caption] ini. Terkesan menggeneralisir. Padahal yang sedang saya bicarakan ini tidak lebih dari kemunafikan diri saya sendiri. Yap, saya terseret. Jauh. Kukira itu adalah hantu kuda mati yang bisa berlari sedemikian cepat, sampai ketika terseret tidak memiliki daya untuk bisa melepaskan diri. Iya, dari seretan hantu kuda itu. Berbicara tentang kebaikan, tetapi kekejian terus dilakukan diam-diam (jangan melihat anda sebagai pelaku, anggap saja saya yang melakukan itu). Mengeluarkan kalimat-kalimat halus dan santun, tetapi dibelakang banyak orang justru mengeluarkan umpatan, caci-maki dan sumpah serapah. Sedangkan tadi, baru saja diri ini begitu memuja diri sebagai orang paling baik, paling sempurna, paling bijak. Oh, baik, jika anda meminta saya tidak lagi memakai kata ganti saya di sini. Tapi, kembali ke kata ganti kita saja. Sebab, ternyata peluang kemunafikan itu tidak hanya saya sendiri yang paling mungkin untuk melakukannya. Tunggu dulu. Kita mungkin lupa, cermin-cermin di rumah kita lebih sering dipergunakan untuk melihat mata diri sendiri. Kemudian dalam hati memuji diri, mataku begitu indah. Pasti banyak manusia yang akan terpukau. Bentuk hidung juga begitu sempurna. Jarang terperhatikan keriput yang secara perlahan datang. Keriput yang seharusnya membuat kita semakin tersugesti untuk menjadi manusia lebih jujur dalam berbuat baik. Kita justru selalu saja coba pungkiri, bahwa dari sejak pertama memilih untuk mengenakan pakaian kedewasaan, keriput itu sudah datang, sudah berbentuk. Dan itu jarang terlihat, apalagi untuk melihat bentuk-bentuk gigi berlobang dan mengundang bau busuk. Padahal gigi busuk itu tidak hanya menimbulkan aroma lawan bicara, tetapi seringkali juga bisa membuat kata-kata yang keluar dari sana ikut busuk. Mungkin kita lupa ya, semua yang kita berikan akan dikembalikan dengan harga sepadan. Hanya kebaikan saja yang lebih sering dibayar Tuhan dengan harga lebih tinggi dari harga yang sebenarnya. Entahlah, semoga kita tidak berpikir, kelak ketika mati, orang mau katakan apa saja, terserah. Photo Sources: Here

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun