[caption id="attachment_64608" align="alignleft" width="284" caption="mari telanjang untuk sastra persada. melangkahlah dengan bentuk apapun nasibmu (Gbr: Google)"][/caption]
Pipiet Senja mengayunkan tangannya di keyboard komputernya menulis apa saja yang merangsang pikirannya. Thalassemia tidak membuatnya meringis. Tetapi tetap gesit serupa perawan kecil mengundang tawa renyah anak-anaknya yang terlalu banyak karena menyebar di setiap jengkal nusantara. Kit Rose tersenyum misterius. Sedang Syam mengayunkan langkah kaki cekingnya mengais aksara di sawah-sawah, di traffic light yang bernyanyi tentang resah di Jakarta yang sering membuatnya gerah. Sesekali mengayunkan rambut panjangnya, sehingga beberapa kutu memaki dirinya dengan marah membuncah. Tandi Skober, Ragile dengan Abdyjaya menjadi lelaki kerasukan. Ia dirasuki ruh Abu Nawas dengan sentilannya yang membuat orang-orang terdiam. Lalu tertawa terbahak sambil memegang perut sedangkan lelaki yang katanya memiliki nama P. Tandi itu hanya cengengesan kecil sambil menggaruk kepalanya dan mengambil air wudhu' mendirikan shalat dhuha di sajadah kata. Lalu Edi Sentana Sembiring, membakar kemenyan. Sisingamangaraja merasuk, mirip P. Tandi, ia terkadang meracau dengan bahasa yang terkadang juga hanya dipahaminya sendiri. Tetapi ia mencuri salju dari surga untuk kemudian ditaburkan ke banyak kepala orang-orang disekitarnya, tanpa canda. Asap kemenyan itu tercium pula oleh Risman A. Rahman, Bahagia Arbi, Herman RN, Iskandar Norman yang terlihat ogah-ogahan, Abdul Razak M.H Pulo, Muhammad Iqbal yang sedang bersenggama dengan bangku kuliah di Amerika. Dan seorang bocah kecil yang tak berumah, jarang makan, yang enggan disebut namanya,"Kita kembalikan nama As-Singkili, As Sumatrani dan semua mereka yang telah mati terkubur tetapi mereka tidak pernah mengubur cinta." Mereka kemudian telanjang, tidak seperti penari striptease yang mengejar uang recehan. Tetapi, menari di depan altar penuh asap kemenyan. Terkadang tergelak berbarengan, diam hening, menangis lalu jingkrak-jingkrak,"sejarah bangsa ini akan kian panjang dengan ketelanjangan kita, saudaraku tercinta. Kita tidak mengejar uang recehan, tetapi kita belajar sambil mengajar tentang cinta dengan pemahaman sastra yang kita pelajari sambil memakan bongkah-bongkah tanah agar hati tetap bisa mengingat kebesaran kerendah-hatian." Kompasiana, rumah besar. Bocah kecil yang tak dikenal dengan termalu-malu menyebutnya sebagai miniatur persada. Berisi banyak manusia yang telah diamuk asmara sastra. Meracau, merintih, menjerit, mengeluh, menari, berdansa dan tertawa."Kompasiana ini kelak akan dicatat dengan sumbangan sastra dengan jumlah yang tidak ringan." Ouda Saija, melepas pakaian satu persatu, membasuh keringat mereka yang lelah memungut kata di simpang-simpang jalang berdebu,"perjalanan kita adalah perjalanan kata, perjalanan kita adalah perjalanan jiwa. Kita takkan mati." Sedang bocah kecil komat-kamit bicara sendiri,"aku menulis tanpa berharap akan diberikan limousine, tetapi semua aksara yang kutabur akan selalu kubumbui dengan kerat yakin yang kelak akan menggunung di semua labirin." Mereka mengambil pedang, parang, keris, mandau, rencong. Merubahnya menjadi pena, menusuk ruang-ruang maya, Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H