Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Setelah Adam Menyalahkan Hawa

1 November 2009   22:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:28 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seharusnya kita sedang berada di syurga. Melihat kupu-kupu indah yang beterbangan. Menatap burung-burung yang terbang dari ranting ke ranting. Penuh kedamaian, tak ada benci. Semua yang terlihat adalah embun-embun cinta. Ada rasa ingin untuk memarahimu. Namun, sejauh ini aku selalu mencoba untuk memahamimu, Sayang. Bujukan dan pinta dalam irama kelembutanmu, membuatku tidak bisa lagi melihat-Nya. Akupun memakan buah terlarang itu. Sekarang, pagi ini kudapati kita sudah berada disini, di bumi. Senyummu sudah tidak terlihat indah lagi, aku sudah tidak bisa menikmati manjamu, sayang. Aku memang masih merasakan marah padamu. Tetapi, iya mungkin hanya karena cinta maka tidak pernah kuluapkan amarah itu. Kuredam semua itu. Kucoba untuk tetap menyiram hati ini dengan cinta. Terkadang aku harus pergi ke semua kutub. Kutelan nyaris semua bulir-bulir salju agar hatiku tetap sejuk. Walau, pikiranku juga sangat terganggu dengan kelebat bayang yang tidak mengenakkan selama kita disini. Masih membayang dipelupuk mataku, ketika Qabil membunuh Habil. Ketika anak yang lahir sebagai buah cinta kita tercatat sebagai pembunuh pertama. Detik ini, setelah beribu tahun yang lupa kuhitung. Darah telah mengisi nyaris tiap jengkal tanah. Mereka yang memiliki tubuh serupa kita yang pintar berbicara cinta. Dalam seminar, dalam diskusi. Tapi, tetap saja aku jengah dengan semua yang diperlihatkan mereka. Cinta hanya terbungkus dalam teori dan retorika. Ditempatkan di buku-buku. Namun, praktik cinta mereka tidaklah seperti yang pernah kita rasakan dulu di sorga. Ah, aku ternyata tidak bisa memarahimu, sayang. Karena memang semua ini karena kesalahanku sendiri yang terhanyut kala. Hingga kita terusir kesini. Tapi begitu, aku juga memang masih menyimpa marah. Terkadang terpikir, kenapa ketika di sorga aku meminta Tuhan menciptakanmu hanya setelah aku melihat cengkerama dua merpati di rerantingan sisi kepalaku. Baik, baik sayang. Aku coba untuk redam semua benci dan tataplah mataku. Aku akan terus memberimu binar mata yang penuh cinta. Biarlah mereka dengan semua yang mereka inginkan. Kukira ketika mereka memilih saling membenci, mungkin karena mereka sendiri inginkan itu. Apalagi setahuku, Tuhan membebaskan semua mereka juga seperti kita. Mereka leluasa untuk memilih. Untuk ikut memakan Khuldi kebencian ataukah mereka biarkan langkah-langkah kakinya terayun kearah kutub cinta yang dipenuhi salju menyejukkan. Sayang, jujur selama kita disini aku memang lebih banyak merasa gundah. Aku merasa resah. Setiap hari televisi hanya memperlihatkan pementasan keangkuhan banyak manusia. Terlalu banyak hati berserak di layar-layar televisi, seperti sudah tidak lagi berdetak. Sebentar, biarlah kuhancurkan dulu televisi yang ada di rumah kita. Dan nanti aku ingin pergi untuk beberapa saat. Mengajarkan mereka tentang pelajaran cinta yang sebenarnya belum penuh dimengerti mereka. Walau mereka mengklaim sudah mengupasnya hingga ke kajian filsafati. Tetapi memang mereka sebenarnya belum mengenal cinta. Sebentar aku pergi. Mungkin, setelah beberapa ribu purnama kedepan aku kembali. Itupun jika aku berhasil ajarkan mereka tentang cinta yang sebenarnya. Bilapun mereka tetap saja enggan memahami cinta dalam arti yang sesungguhnya. Relakan saja aku mati dalam upaya pengajaran itu. Karena, kecamuk benci di dada mereka memungkinku terbunuh ditangan-tangan yang sudah tidak pernah merasakan cinta itu. Sembari, aku juga belajar lebih terang, untuk tidak tersisa sedikit benci jua terhadapmu. Aku sadari sayang, kesalahan lampau itu tak hanya salahmu. Tetapi akulah memang yang sudah mengambil keputusan untuk memakan buah terlarang itu. Aku ingin juga hapuskan bayangan gundah dan sesal itu dengan cara mengajarkan cinta pada mereka dengan semua yang kubisa. Walaupun aku ingin juga untuk tetap kembali kesini, agar bisa memelukmu kembali. Tapi, jangan sisakan harapan dihatimu sayang. Sebab, aku ulangi lagi sayang, mungkin aku terbunuh ditangan mereka sebelum berhasil mengajarkan cinta yang sesungguhnya. Kecupanku di bibirmu ini, mungkin bisa menjadi pengobat rindu dengan kau isi kenangan ini diruang imajinasimu, saat kau merasakan rindu. Aku berangkat untuk mengajarkan cinta pada mereka, selamat tinggal Sayang. Semoga, ketika kembali sudah benar-benar tidak terbetik setitikpun inginku untuk menyalahkanmu, bila aku belum terbunuh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun