Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Senggama Gelandangan

26 Februari 2010   02:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:44 1853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_81929" align="alignleft" width="298" caption="Tuhan, tolong tulis nasib mereka dengan huruf yang lebih baik (Photo: Kompas)"][/caption] Seorang bocah dengan lincah loncat ke angkot yang juga kunaiki, baru saja. Dari mulut mungilnya mengalun lagu:"...Tuhan, berikan aku hidup satu kali lagi". Sedang dia yang duduk persis di sisi kiriku, kutahu melihatku lekat, seakan sedang membaca isi pikiranku. Memang, saat itu sedang berkecamuk berbagai tanya di kepala. "Kemana orangtuanya? Oh, shit!!!" Terpikir orangtua yang membiarkan anak-anaknya harus meninggalkan masa kecilnya terlalu pagi. Seakan mengerti pergolakan yang sedang ada di balik tempurung kepalaku. Dia yang nyaris saban hari melihat pemandangan ini, berujar:"orangtuanya ada di sana tadi, di tempat kita menaiki angkot." "Yang merokok tadi?" "Iya ibu yang tadi sedang merokok." Dengan geram mata pikiranku melihat ulang sosok ibu yang lebih 'sejahtera' dengan bentuk tubuh yang lebih tambun. "Jadi mereka melahirkan anak..." "Mereka melahirkan anak untuk dipekerjakan sebagai pengamen. Mengais rejeki dengan caranya, nanti sore disetorkan pada orangtuanya." Jawabnya lugas menukas tanyaku. Aku sendiri hanya termangu. Tak lama, bocah yang berusia sekitar 7 tahun itu meloncat turun sebelum angkot yang kutumpangi itu berhenti. Aku tercekat. Terbayang jika saja ada pengendara motor nekad yang sering show off di jalan-jalan, yang bisa saja masuk dari kiri menyambar tubuh mungil itu. Ah, aku hanya bisa menggumam. Sebelumnya, tangan kecil itu sempat disodorkan tetapi belum sempat tanganku merogoh saku celana, ia sudah melompat turun. Entah aku yang terlalu mendramatisir, setitik buliran airmata jatuh. Lekas kuhapus untuk tidak dilihat penumpang lainnya.

***

Waktu tidak mengenal jalan santai. Nasib tidak selalu bersedia membaca cerita cinta. Seperti enggan mengeja cerita Cinderella. Waktu berjalan cepat dengan semua realitanya. Selanjutnya, aku kembali terpaku saat sedang melewati sebuah terowongan pendek. Seorang lelaki yang kuyakin masih sangat muda, meringkuk. Menutup seluruh tubuhnya dengan sarung yang membuatku merasa buta warna. Ransel lusuh tercampak persis di sisi badannya. Aku hanya bisa menatap lekat. Lagi, pikiran mengajak untuk menyapa Tuhan, mempertanyakan semua lukisan itu. Namun, sebelum tanya dan jawab itu terdengar terang. Aku kembali harus melihat seorang lelaki tua, terduduk sendiri membaca lembar koran yang terlihat sudah lecek. Di samping tubuh tuanya, terdapat meja kecil. Lelaki tua itu menjual kemampuannya membuat stempel. Ada rasa kagum dengan semangatnya mencari nafkah. Selain rasa marahku entah pada siapa, kenapa lelaki setua itu masih harus memaksa diri memakan asap kotor kota ini untuk mencari nafkah. Saat dalam usia yang kutaksir sekitar 75 tahun, harusnya sudah berada di rumah utuk berada di rumah saja untuk berzikir dan memperbanyak ibadah. Beberapa langkah kaki ke depan, bersama dia yang masih menggamit tanganku mesra. Aku masih harus [caption id="attachment_81931" align="alignright" width="295" caption="Jika masih ada beberapa lembar rupiah di tangan itu, apakah bisa diganti dengan nasib yang lebih indah dari keriput kulitnya, Tuhan? (Gbr: Google)"][/caption] melihat lagi seorang nenek berusia berkisar 65 tahun. Terduduk dengan mata kosong. Oh, kembali ada jeritan dari dalam jiwaku,"seperti ini nasib berbicara..." Teringat masih ada beberapa lembar ribuan di saku. Segera kuberikan pada nenek ini. Matanya terlihat lebih berbinar. Andai saja binar mata itu abadi, dan tubuh tua itu tidak harus terduduk lemah di lantai depan pertokoan yang lembab dan kotor itu... Tapi (lagi) nasib masih sering angkuh menulis diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun