Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Senggama di Kuburan

24 Februari 2010   13:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:45 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_80773" align="alignleft" width="154" caption="Kesadaran datang dalam kesediaan dan kerelaan. Dusta yang disembunyikan takkan pernah menjadi guru kebijaksanaan (Gbr: Google)"][/caption] Bongkah-bongkah tanah jatuh, tepat di atas tubuhku. Oh, juga di tubuhmu ternyata. Semua kita sedang terbaring di sebuah lobang dengan ketinggian kisaran sepinggang. Pelan-pelan tubuh-tubuh kita sudah berseragam tanah. Apa yang sudah kita sadari detik ini? Apa yang sudah kita baca hari ini? Apa yang sudah kita cerna saat ini? Kita bergulat diantara sadar dan tidak sadar, tahu dan tidak tahu, paham dan tidak paham. Ketika pertanyaan sedang menunggu jawaban, kita hanya bisa bergumam. Sedangkan jawaban justru kian jauh. Itu semua bukan salah siapa-siapa. Ketika nurani justru teraniaya, ketika mata batin diterlantarkan ternista, saat mata jiwa hanya tesedu mengiba. Bukan hanya sekedar untuk teralirinya berlaksa kata, namun hanya untuk sekerat makna. Kendati hanya sisa. Mungkin kita lupa, atau mungkin juga sedang tidak mau tahu. Bahwa kita hari ini terlihat  di ujung mata bagian organ kehidupan. Tak lebih sebagai jenazah yang tak menyadari kematiannya sendiri. Semua tanya berawal dari cuil sejarah yang masih tersisa. Semua jawaban atas setiap tanya masih terus saja terhempas seperti perahu kecil yang tidak lagi memiliki pengayuh. Sedang pada saat yang sama kita harus membawa perahu itu ke sebuah daratan  berpasir mutiara. Apakah ini semua sekedar metafora perjalanan? Analogi kejujuran? Ataukah (lagi) pergulatan ketidakberanian kita untuk bicara lebih jujur, melihat lebih jujur pada diri sendiri. Sampai kemudian kita justru benar-benar mati saat kita masih saja hanya bisa ngelantur dalam tidur. Jawaban bergelantungan, di tiang-tiang yang takkan pernah bisa dilirik oleh mata yang tak kuasa menerima cahaya. Kita mungkin menyebutnya dialektika, dinamika atau entah apa saja. Tetapi, selama kejujuran itu hanya utuh tertulis dalam kamus bahasa saja, selamanya kita hanya menjadi orang-orang buta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun