Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sebungkus Rokok, Sekilo Beras

30 Januari 2010   17:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:10 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_64945" align="alignleft" width="300" caption="mari terus merokok jika memilih menghentikannya sekedar karena takut mati (Gbr: Google)"][/caption] Oleh kekurangan saya barangkali, tidak terlalu suka ber-matematika. Meski ingin menulis yang sedikit serius, tetapi saya coba untuk keras kepala tidak melibatkan angka kecuali se atawa satu. Sekilo dan sebungkus. Rokok dan beras. Tanpa angka saya ingin katakan, perokok jauh lebih banyak daripada yang non-perokok. Tanpa angka saya ingin katakan lebih banyak yang memikirkan rokok daripada yang memikirkan beras. Tanpa angka juga saya ingin katakan lebih banyak yang butuh rokok daripada membutuhkan beras. Ah, mungkin saja saya memang terlalu mengada-ada. Karena memang di negara ini, secara yang nampak di pikiran (untuk penegasan bukan yang terlihat mata), beras masih terlihat sebagai kebutuhan pokok. Itu kebenaran yang saya yakin kita sepakati. Tetapi bagaimana yang terlihat dengan mata kepala, asap rokok terlihat di mana-mana. Kalaupun ada larangan merokok di tempat seperti di bis, di swalayan, di bandara. Tetap saja ruang untuk para perokok jauh lebih luas. Tak jarang, dengan menghirup asap knalpot kendaraan di jalan-jalan raya, masih sempat menambah dengan menghirup asap rokok lagi. Ternyata asap juga menjadi stimulan yang begitu 'penting'. Sehingga kenapa pasokan asap dalam tubuh terus dan terus diizinkan masuk. Saya sendiri tidak melihat hal itu dari sudut pandang kesehatan. Karena memang pikiran saya yang masih terlalu awam barangkali, sehingga tidak takut sakit. Sebab alasan, toh yang tidak pernah merokok juga sakit. Jika alasan tidak merokok adalah takut mati, tidak sedikit yang bukan perokok juga mati--banyak juga yang masih muda--. Selain masih memandang, ketakutan pada sakit dan mati yang dihubungkan dengan rokok lebih terlihat oleh saya sebagai satu hal yang mengada-ada (juga). Nah, berbeda pikiran saya saat disebutkan bagaimana kalau uang jatah untuk rokok itu disumbangkan untuk orang-orang miskin yang masih menjadi 'penguasa' jumlah penduduk di nusantara ini. Dipergunakan untuk membantu kuliah anak-anak miskin yang sebenarnya memiliki banyak potensi namun seringkali berhenti bermimpi karena alasan materi. Dimanfaatkan untuk berbagai keperluan lain yang manfaatnya bisa dirasakan lebih banyak orang. Sekaligus sebagai realisasi semangat berkorban menanggalkan nafsu yang tak jelas untuk merokok dengan manfaat yang juga kabur. Mencoba untuk memikirkan mereka yang masih banyak yang perlu tangan-tangan lain selain tangannya sendiri yang tidak cekatan untuk mengais rejeki dari tanah-tanah "gemah ripah loh jinawi ini." Sekilo beras saja terkumpul dari masing-masing perokok yang bersedia menanggalkan kebiasaannya merokok, yang dipergunakan untuk membeli beras saja. Terus dibagikan pada masyarakat miskin, beras itu bisa dimasak menjadi nasi. Beras itu bisa menjadi gizi. Beras itu bisa menjadi penguat untuk anak-anak mereka tetap yakin mengejar mimpi. Lagi, ah ternyata akupun masih sering menikmati asap itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun