Menghabiskan masa remaja di kota kecil sekelas kabupaten, ada banyak potret kekerasan terekam di kepala saya. Tentang para suami yang menjadikan istri sebagai sasaran tinju dan tendangan, tak terkecuali anak yang menjadi pelampiasan kemarahan ayah dan ibunya sendiri.
Itulah yang menjadi bagian pemandangan yang saya saksikan dari lingkungan yang tak jauh dari tempat saya tinggal. Di antaranya, maaf, memang dari kalangan berekonomi menengah ke bawah, dan dari sisi pendidikan lebih banyak berlatar belakang sekolah dasar, dengan S1 hingga S3 di era itu masih dapat dihitung dengan jari.
Kasus I
Sebut saja Mak Din. Maklum di Aceh, seorang ibu akan dipanggil berdasarkan siapa nama anak sulungnya—jika Samsudin, misalnya, maka ibunya bisa dipanggil Mak Din.
Mak Din bersuamikan seorang lelaki yang sejak remaja terkenal badung. Sudah mencicipi penjara sejak berusia belasan tahun, akrab dengan judi dari masih baru akil baligh, dan rajin “jajan” justru setelah nikah.
Seringnya, suami Mak Din tidak berada di rumah. Jika bukan karena menghabiskan waktu di tempat judi, tertidur di pos ronda sampai pagi karena menenggak tuak atau minuman keras lainnya, atau jika tidak sedang di penjara.
Ya, suaminya seorang residivis. Jika bukan karena kasus perkelahian, karena penjualan barang terlarang, atau jika tidak, karena pencurian. Bahkan dia akhirnya sempat terkenal sebagai pencuri yang termahir dan termasuk paling disegani, karena dianggap sakti.
Jika biasanya pencuri diremehkan atau dipandang sebelah mata, suami Mak Din memang mengalami itu dari orang-orang jika di belakangnya. Tapi jika sudah berhadapan dengannya, mereka yang biasanya mencibirnya bisa menunduk-nunduk di depannya. Tak terkecuai Mak Din sendiri, tak peduli tetangganya menyuruhnya untuk bercerai atau melarikan diri dari suaminya, dia tetap memilih bertahan.
Bahkan, selain menikah dengannya, suami Mak Din tersebut juga menikah dengan beberapa perempuan lain. Tapi Mak Din tetap selalu membuka pintu untuk suaminya itu saat pulang—walaupun dia tetap masih bisa tegas, tak mengizinkan istri muda suaminya dibawa ke rumah tersebut. Di sisi ini, suaminya tampaknya mengalah, dan kerap meminjam rumah saudara-saudaranya saja untuk dapat menginapkan istri-istri mudanya.
Menarik, meski mengetahui suaminya telah beristri muda, Mak Din akan tetap menyambutnya seperti tak ada yang salah. Dia akan bersikap selayaknya istri, tetap melayani, dan tak ada yang berubah.
Maka itu, sesangar apa pun suaminya terkenal di daerah itu, Mak Din tak pernah jadi sasaran kekerasan fisik, walaupun tertekan secara psikis.