Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Saat Impian Negara Menjadi Aksi Keluarga

1 Oktober 2014   12:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:50 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_362927" align="aligncenter" width="498" caption="Nasib negara pun akan sangat ditentukan dari bagaimana budaya di sebuah keluarga (Gbr: id.theindonesianparent.com)"][/caption]

Satu hal yang masih saya percaya adalah sebuah bangunan besar berdiri dari banyak elemen kecil. Logika ini kerap saya tuangkan dalam tulisan dan kerap saya ungkapkan dalam berbagai diskusi, baik di lingkaran pertemanan maupun diskusi semisal seminar yang pernah saya ikuti. Terutama di tengah keluarga. Ya, dari keluargalah saya mengawali berbuat kepada negara. Tidak selalu hal-hal besar, melainkan berbagai hal kecil, yang ibarat pasir tetapi saya yakini sebagai elemen penting untuk membentuk dinding-dinding kokoh.

Semenjak beristri, satu hal yang saya ajak istri untuk konsisten dilakukan adalah memberi lebih untuk ongkos angkutan umum, membeli sesuatu dari pedagang kecil, hingga memberi untuk pengamen. Terlepas bahwa sikap ini hanya kontribusi kecil, tapi saya percaya, penghargaan seperti inilah maka yang lemah menjadi lebih bertenaga, yang pesimis menjadi optimis, dan yang skeptis menjadi yakin.

Ini bukan soal bahwa untuk memilih sikap ini harus memiliki banyak uang. Paling tidak, adanya kecukupan dalam hal keuangan sudah cukup menjadi alasan menyisihkan sebagian dari pendapatan untuk mereka dengan cara bersahaja.

Lantaran saya juga melihat, misal dengan menggunakan ojek, tarif normal adalah Rp 10 ribu, namun saya memberi paling tidak Rp 12 ribu, secara nominal yang saya lebihkan barangkali  hanya Rp 2 ribu. Kecil sekali, mungkin. Tapi justru di sini saya kerap melihat pancaran mata tukang ojek yang semringah, menjadi lebih bertenaga, merasa dihargai, dan lebih merasa "dianggap ada".

Pada saat seorang tukang ojek tersebut menjadi lebih bersemangat, saya membayangkan jika ia menjadi lebih optimistis dengan pekerjaannya. Besar kemungkinan ia akan bisa menghasilkan pemasukan harian lebih banyak. Jika sudah begitu, secara tidak langsung, maka si tukang ojek sudah diberikan semacam vitamin jiwa. Ia akan lebih bertenaga dalam bekerja, dan lebih produktif. Tentu, yang tertolong tidak saja dia sendiri, melainkan istri dan beberapa anaknya.

Uang sebesar Rp 2 ribu tadi, memang kecil, tapi soal dampak, saya yakini tidak akan kecil. Sebab soal antusiasme yang bisa dirasakan seorang tukang ojek itu bukanlah karena uang tersebut, melainkan oleh perasaan bahwa ia dihargai, perjuangannya dipahami, dan ia merasa lebih dimanusiakan. Jadi lebih karena "transfer energi" berupa ruh, bahwa di tengah banyaknya orang yang kurang respek dengan profesi mereka, para tukang ojek tersebut merasa dihargai. Ini menjadi pemberian non-fisik dari sesuatu yang terlihat secara fisik.

Begitu juga dengan para sopir angkot, yang terkadang terpaksa curang karena mereka memang tak jarang dicurangi penumpangnya. Jika kecurangan itu terus terjadi, penumpang dan awak angkot akan sama-sama menjadi curang. Ekses lebih buruk, kecurangan itu benar-benar menjadi budaya. Pada titik ini, maka melawan kecurangan akan kian sulit.

Berbeda halnya jika kemudian memutuskan, saat tarif angkot diketahui hanya Rp 3 ribu, lalu dibayar lebih dari itu. Efeknya akan berpengaruh pada pikiran dan perasaan awak angkot tersebut. Ia akan berpikir, bahwa tak semua manusia adalah "pemakan" manusia, dan tak semua manusia negeri ini yang hanya memikirkan untung sendiri. Hingga ia merasa kian yakin, bahwa pekerjaan yang dilakoninya itu juga layak untuk dicintai, toh masih ada penumpang yang masih bisa menunjukkan cinta kepadanya dengan profesinya itu. Pada saat sudah begini, seorang sopir angkot yang mencintai pekerjaannya, saya kira akan lebih mampu menjalankan perannya lebih baik.

Ya, siapa saja bisa berkaca kepada diri sendiri. Bagaimana bisa melakukan sesuatu yang lebih baik jika respons yang ia dapatkan dari sekeliling, jauh dari apresiatif. Bukan tak mungkin, akibat kurangnya apresiasi, yang muncul hanya perasaan, "Ah, berarti saya memang tidak mampu," "Ya, saya memang tak punya harapan," "Memang, akhirnya saya tak dapat diandalkan". Dalam kondisi begini, yang terjadi, acap kali hanyalah perasaan tidak dihargai yang berujung pada berkurangnya antusiasme, atau bahkan frustasi. Lebih jauh, pada saat dalam situasi seperti itu, alih-alih berusaha memperbaiki pekerjaannya, ia harus lebih dulu berjuang menentramkan pikiran dan perasaannya dulu, dan ini menyita waktu dan tentu saja memakan peluang untuk hal-hal yang lebih produktif.

Seperti juga soal makan. Silakan saja makan di tempat-tempat mewah, toh itu uang sendiri yang dihasilkan dari keringat sendiri. Tapi juga tidak keliru, jika memberi banyak kesempatan kepada pedagang di warung-warung makan sederhana di pinggir jalan, untuk warung makannya ternyata diminati. Paling tidak, hal-hal ini membuat ia juga lagi-lagi optimistis, bahwa profesi yang ia jalankan mampu menghasilkan dan ia bisa lebih termotivasi beranjak lebih jauh dari sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun