Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Renungan: Sarapan Makian untuk Anak-anak

29 Oktober 2009   05:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:30 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_19657" align="alignleft" width="300" caption="zulfikar akbar"][/caption] Menjadi sebuah hal yang menarik bagi saya, memperhatikan karakter beberapa figur rekan ataupun kenalan yang telah menikah. Spesifik ketika mereka berhadapan dengan anak-anaknya. Lebih spesifik lagi dalam gaya berkomunikasi. Di sebuah kontrakan yang pernah saya tempati, saya pernah memiliki tetangga. Sepasang suami istri yang baru memiliki 2 orang anak laki-laki berusia 10 dan 7 tahun. Anak-anak mereka yang dimata saya terlihat lucu dan menyenangkan itu ternyata tidak mendapatkan sikap yang menyenangkan dari kedua orangtuanya. Berbagai jenis bahasa caci maki kerap saya dengar ditujukan untuk anak-anaknya. Acap terjadi sebenarnya yang menjadi pemicu adalah kesalahan kecil saja. Saya tahu hanya kesalahan kecil karena memang posisi kontrakan kami yang berdempetan. Anak-anaknya berbicara dengan irama manja, terkadang harus mendapat balasan berupa bentakan. Terkadang saya sendiri sempat terpikir, sebegitu lelahkah orangtua anak-anak ini, sampai untuk menghadapi anak-anaknya nyaris tidak bisa dengan bahasa yang lebih lembut, yang lebih mencerminkan kasih sayang. Ini satu persoalan. Saya ingin menyelam sedikit kedalam sisi karakter. Tidak kedalam karakter ibu muda itu saja, tetapi juga kedalam jiwa kita. Itupun jika anda yang emmbaca tulisan ini membiarkan diri anda kerasukan dengan usaha saya menyelam kesana. Memang, kita memiliki keterbatasan. Kita memiliki kemungkinan untuk merasakan lelah yang teramat sangat. Sebuah kondisi yang mungkin disana kita berhadapan dengan pilihan satu saja, tidak bisa mengontrol emosi. Keadaan yang dalam disiplin psikologi disebut dengan burnout. Tetapi, saya jadi ingin merefleksi diri. Andai, yang menjadi orangtua dari kedua anak itu sendiri adalah diri saya sendiri. Apakah mungkin saya bisa menunjukkan sebuah sikap yang lebih baik? Hm, saya tidak ingin terjebak pada kalimat yang mengposisikan saya seolah merupakan figur lelaki yang lebih baik dari lelaki lain. Apalagi, saya akui memang belum pernah menikah. Tetapi, kembali pada permasalah itu, saya harus mengakui jujur. Bahwa kemungkinan untuk melakukan hal yang serupa pasangan orangtua anak-anak itu, bisa jadi juga saya lakukan. Namun begitu, saya sering meyakini juga bahwa, sesuatu akan sering keluar ketika memang diri kita sendiri membiarkan sesuatu sikap mewujud. Begitu sikap itu sudah sering dilakukan---termasuk memaki anak--, maka kecenderungannya adalah orangtuanya merasakan nyaman mengucapkan itu sebagai luapan amarah dan kekesalannya. Namun pada saat yang sama menjadi sebuah siksaan yang teramat sangat bagi anak-anaknya. Saya sering merasa iba melihat wajah anak-anak itu. Terbetik ingin untuk bisa memeluk mereka. Ah, tetapi kemudian terhalang dengan posisi saya sendiri yang bukan siapa-siapa bagi anak-anak.Meski, sering terjadi juga saya berimajinasi liar saat melihat hal tidak mengenakkan terjadi. Ingin untuk menendang pintu rumah pasangan tersebut dan melarikan anak-anaknya. Tentu, anda saja tersenyum bukan? Seorang lajang yang memiliki "kesalahan" karena menguping makian yang memang terdengar keras itu. Saya kira, mungkin satu hal yang harus kita lakukan, baik yang sudah berkeluarga atau juga sama seperti saya masih memilih melajang. Menciptakan sebuah pilihan sikap, jangan mengenal kata-kata bernada makian. Bila orang-orang disekitar sering memaki, jikapun ia sahabat, sebaiknya hindari saja. Karena bukan tidak mungkin juga, apa yang sering dilihat dan didengar itu kelak akan menyatu perlahan dengan diri kita sendiri tanpa terasa. Lantas, kita menjadi bagian dari orang-orang yang tercatat di buku-buku malaikat sebagai manusia "pembunuh" anak-anak kecil. Sebab jelas, ketika seorang anak sering dimaki, kecenderungan yang bakal terjadi lagi, mereka tidak akan leluasa berekspresi. Selanjutnya, tumbuhlah sebuah generasi tanpa kreatifitas. Generasi lemah. Generasi yang dipenjara oleh ketakutan yang dibuat oleh orang-orang yang mengklaim diri mencintai mereka. Disini kesampingkan dulu persoalan intelektualitas. Kendati kita memiliki latar belakang pendidikan apapun. Tetapi coba lebih jeli pada cara kita menatap anak-anak itu. Pelibatan hati, nurani, rasa, empati atau apapun namanya itu. Entahlah, setidaknya ini menjadi renungan kita bersama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun