Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rapa'ie Nagan, Jejak yang Hilang

16 Oktober 2010   08:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:23 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_291607" align="alignleft" width="300" caption="Matee aneuek meupat jeurat, matee adat han pat tamita "][/caption] Suara rapa'ie yang ditabuh memecah malam. Lengking suara lelaki yang lantunkan syair-syair menggugah nurani. Ureueng gampoeng* tidak beranjak, membuka mata lebar-lebar sambil membaluti tubuh dengan sarung yang sengaja dibawa dari rumah. Mereka menghibur hati dengan pertunjukan kesenian rakyat yang disebut rapa'ie. Assalaamualaikum warahmatullah, jaroedua blah ateueh jeumala,menjadi pembuka pertunjukan tersebut. Dibarengi dengan tabuhan rapa'ie lengkap dengan gerak yang terkadang agak mirip seperti genderang perang yang membakar semangat. Selanjutnya syair demi syair dilantunkan memenuhi langit malam. Terkadang disambut dengan gelak tawa penonton karena memang kerap berisi sindiran. Menyindir kebiasaan buruk sehari-hari yang kerap dilakukan masyarakat. Misal, tentang istri yang sering membantah suami, atau suami yang tidak peduli istri dan berbagai hal lain yang sering terlihat telanjang dalam keseharian. Meski disindir, tetap tidak membuat siapa pun tersinggung. Malah, gelak tawa yang kian deras penonton. Mereka terhibur. Ini juga memang layak disebut karena kepiawaian dari syech (sebutan untuk pemimpin rapa'ie) dalam menyusun lirik berima. Terdengar indah dan memiliki kekuatan magis yang membawa pengaruh pada pendengarnya. Seringkali, syair-syair yang didapat dari acara rapa'ie yang mereka tonton, orang tua menjadikan lirik-lirik yang mereka dapat dari tontonan itu untuk juga dipergunakan untuk menasehati anak-anaknya. Ini menjadi sebuah kelebihan dari kesenian tersebut. Melakukan transfer nilai-nilai islami yang mendarah daging di masyarakat Aceh untuk tidak hilang dengan cara menarik dan tidak menggurui. Memang, kesenian rapa'ie itu menjadi suatu bentuk kesenian rakyat yang ada di hampir semua belahan tanoeh Aceh. Akan tetapi belakangan ini memang tidak seacap dulu dihadirkan dan bisa disaksikan masyarakat. Penyebabnya, selain karena sedikit tergeser dengan berbagai bentuk hiburan lain. Juga, karena animo masyarakat gampoeng untuk tetap mempertahankan  kesenian tersebut tetap terjaga perlahan mulai berkurang. Tak heran, rapa'ie itu sulit untuk bisa diketemukan kecuali di beberapa gampoeng yang jauh di pedalaman. Mereka yang berada di perkotaan kecil kemungkinan bisa dengan mudah bisa menyaksikan kesenian dimaksud jika bukan pada perhelatan-perhelatan resmi pemerintah, atau upacara daerah. Berbeda dengan dulu, untuk acara pernikahan pun, rapa'ie mendapat tempat istimewa. Bahkan bisa dilangsungkan sampai 3 atau 7 hari berturut-turut. Rapa'ie Nagan menjadi bagian dari nostalgia itu. Di kabupaten pemekaran dari Aceh Barat, pernah memunculkan beberapa nama yang diakui kepiawaian mereka dalam kesenian yang melekat kuat di hati generasi tua di Nagan Raya dan sebagian ureueng Meulaboh. Sebut saja Syeh Sabirin, belakangan disebut-sebut meninggal saat konflik terjadi di Aceh karena diduga terlibat ikut mengangkat senjata melawan pemerintah. Mantan guru SD itu padahal sudah pernah membawa nama Aceh dengan kesenian Rapa'ie itu sampai ke beberapa negeri di Eropa. Kemudian, juga ada Syeh Pi'ie yang berdiam di gampoeng Suak Bilie--2 KM dari pusat kabupaten Nagan Raya--yang tinggal. Tetapi belum terdengar kabar terang apakah ia sudah berhasil meregenerasi seni tersebut agar ke depan tetap menggema di langit-langit Aceh seperti lantangnya rapa'ie yang pernah ia tabuh, ataukah tidak. Ureueng Aceh di Nagan yang peduli dengan kesenian tersebut dan pernah menyaksikan seperti apa apiknya mereka menabuh rapa'ie, sepertinya sama bermimpi agar kesenian tersebut bisa abadi. Entah itu akan tetap hanya mati dalam mimpi? Wallahu a'lam * Terj: masyarakat desa Jakarta, 16 Oktober 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun