[caption id="attachment_232262" align="alignleft" width="300" caption="Kita sama-sama tidak bisa melihat kok (Gbr: Budhaya.info)"][/caption] Dalam sebuah film yang pernah saya tonton sekitar 20 tahun yang lalu, masih saya ingat beberapa baris kalimat yang terpampang di layar bioskop kelas kecamatan di kampung saya. Bahwa, tidak ada hal yang paling jujur dibutuhkan manusia selain popularitas, kenyamanan hidup, harta yang mencukupi. Dan soal jalan mendapatkannya tidak terlalu penting untuk dipertimbangkan. Karena soal ada kesalahan yang kemudian ditemukan, itu bisa diselesaikan dengan kecerdasan untuk berdusta sampai orang-orang yakin. Agak mirip 'sabda' Hitler yang saya tahu belakangan hari. Sekarang, baru saja televisi menayangkan sosok Ramaditya, tuna netra yang diduga sudah melakukan pembohongan publik. Sebelumnya, Syaifuddin Sayuti sudah lebih dulu mengulas meski tanpa mengelus soal fenomena Rama yang kadung dikagumi publik sampai Kick Andy, satu acara di salah satu televisi swasta yang konon memiliki tim yang sangat selektif untuk menentukan figur yang bakal mereka ekspose dalam acaranya tapi kecolongan juga. Bahkan, Pepih Nugraha, lewat tulisannya yang juga dituangkan di Kompasiana harus membeberkan penyesalan yang tersirat kental. Penyesalan yang masuk akal karena sudah lebih dulu menulis tentang figur yang sempat diposisikan sebagai salah satu tuna netra inspirasional tersebut, dan celakanya dimuat di koran bergengsi Kompas. Lagi, tak hanya televisi yang kecolongan tetapi juga media koran, syahdan sekaliber Kompas. Human error, cukup bisa dijadikan alasan untuk fenomena demikian. Teringat lagi salah satu komentar di bawah tulisan Syaifuddin Sayuti tentang Rama, sosok yang tidak bisa melihat demikian saja bisa mengibuli sekian banyak orang yang 'katanya' sudah malang melintang di bidang berkait media publik. Ringkasnya, dalam orang yang tuna netra saja bisa melakukan tipuan 'bernas' seperti itu, apatah lagi dengan orang-orang yang melek. Tapi bukan itu, melek seringkali tidak menjadi sebuah kelebihan yang harus terlalu dibanggakan. Karena melek, berbadan sempurna, nyaris sekarat pun nyaris tidak terlalu berkesempatan untuk bisa mengetuk hati siapa pun untuk membantu membujuk malaikat maut agar tidak memberi titel almarhum untuknya. Sedang dalam keadaan seperti kasus Rama, akan banyak hati yang sangat mungkin terketuk dan itu sudah terbukti. Ternyata rasa kasihan bisa membuat logika menumpul dan kejelian juga setali empat uang. Lantas kenapa? Bukan soal cacat dan tidak cacat, bukan soal sempurna dan tidak sempurna. Sebab ada kesempurnaan yang lebih sejati yang harusnya lebih dijunjung kendati kemudian tidak membuatnya populer dan dikenal banyak orang, kejujuran. Iya, kejujuran. Tanpa itu, televisi yang pernah menyanjung orang-orang seperti Rama, justru kemudian juga menumbangkannya. Meski televisi atawa koran lain hanya benda mati, jangan lupa di balik benda mati ada 'benda' hidup, dan itu manusia dan di balik manusia ada Tuhan sedang Ia tidak pernah menerima topeng apa pun. Karena mata Tuhan, lebih menyukai wajah karut marut daripada wajah licin tetapi tidak asli. Jakarta, 19 Agustus 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H