Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Physikos

27 Desember 2009   12:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:45 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_44322" align="alignleft" width="300" caption="Cinta adalah ilmu alam yang sebenarnya (fickar09)"][/caption]

Saat kita merasa telah membaca beribu buku. Yakinlah, kita sebenarnya belum membaca apa-apa.

Entah mereka murka seperti raja yang dipantati babu, saat intelektualitas yang mereka banggakan tidak dihargai oleh orang-orang yang mereka anggap sebagai pengemis jalanan. Apalagi ketika kemudian gerak alam, pergeseran matahari, perjalanan waktu tidak bersedia menjadi budak setia untuk mengangguk bahwa mereka pemilik kebesaran. Tetapi semua gerak berjalan dalam keseimbangan. Ketika keangkuhan telah meraja jiwa, alam datang untuk merajam mereka yang membuta. Saat waktu menari, terlihat seperti pelacur liar, mereka hanya menatap liukannya dengan nafsu yang menderu serupa nafas kerbau. Tidak ada kesempatan untuk mereka mengizinkan dirinya melihat daun basah oleh embun yang perlahan dibelai matahari. Tidak ada ruang untuk mereka menikmati irama sepi dalam semadi tanpa secuil ngeri. Selanjutnya mereka sendiri yang memasang badan menjadi pelacur liar yang hanya mengangkang dengan memuakkan. Sedang waktu sudah tidak pedulikan itu semua, tetapi mereka masih memaksa mengangkang di hadapan waktu yang memalingkan wajah dari selangkangan berjamur.

***

Mungkin mereka adalah kita sendiri. Tetapi karena selama ini mata kita selalu mengarah ke luar diri sendiri tanpa mengizinkan sesekali untuk melihat ke dalam. Maka yang terjadi, saat beribu kesalahan terjadi, kecenderungan kesimpulan yang muncul, itu adalah kesalahan mereka. Kita terkadang peduli pada angka, tapi tak pernah membuka telinga mendengar desah dedaunan saat dielus sepenuh birahi oleh angin malam. Kita peduli pada kata tetapi kemudian hanya membuat kita sendiri dibunuh kekaguman, sedang kita tidak mendapat pelajaran apa-apa dari semua kata. Baiklah, mungkin saja benar seperti yang disebutkan oleh para pendeta ribuan tahun lalu, saat kita sedang berdansa di pelukan ensiklopedi-ensiklopedi histori. Bahwa, kita selama ini selalu ingin untuk bersetubuh dengan kedamaian, namun selalu memagari diri untuk memberi cinta sepenuh jiwa kepadanya. Atau, seperti disebutkan pada sufi, pada puluhan abad silam, kita telah gagal menggunakan mata. Tidak mampu membuka daun telinga untuk tidak terlalu cepat menuli, karena belum semua suara terdengar. Kendati suara diketahui sebagai pelajaran ilmu alam yang layak untuk terus dihayati, dicerna dengan sebaik-baik yang kita bisa. Kasihan sungguh, hari ini kita berteriak untuk katakan pada kuping bumi, kita lelah. Sedangkan jejak yang kita tinggalkan sama sekali belum ada walau hanya satu langkah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun