Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peternak Anak

9 Mei 2010   15:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:18 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak ada tanaman kecil sekalipun yang bisa tumbuh baik tanpa adanya kasih sayang. Bahkan untuk rumput sekalipun takkan bisa tumbuh sempurna ketika ternak-ternak yang ada tidak memiliki cinta. *** Perlahan Ramat dan Jannah tumbuh menjadi anak yang penakut. Mereka tidak bisa menikmati masa kecilnya. Ramat, dalam usianya yang menjelang 10 tahun sedang gemar-gemarnya bermain dengan kawan-kawan kecilnya. Sebagai aneueuk gampoeng, ia hanya memiliki tempat bermain di sawah bahkan sampai ke lampoeh sawet (perkebunan sawit) di Seumayam yang memang jauh dari desanya. Jika sedang sangat menikmati menghabiskan waktu dengan teman-temannya, pasti pikirannya pada saat yang sama akan teringat Ibu. Seorang perempuan yang kata orang sangat lembut ketika gadisnya tetapi menjadi kasar setelah ia menikah. Sebuah perubahan yang sulit dimengerti. Dulu, ibunya itu disebut-sebut sangat santun dalam bicara. Sangat hormat ke orang-orang tua. Entah dari mana, setelah berkeluarga ia justru menjadi penganut ilmu serigala. Ganas, dan hampir selalu menunjukkan seringainya. Juga, akhir-akhir ini, Ibunya itu kerap terlibat pertengkaran dengan tetangga. Bahkan Mak Teh yang pernah menjadi kawan akrab Laila baru-baru ini juga terlibat pertengkaran serius dengannya. Bahkan sudah sampai pada tarap serius, melibatkan batu sampai kaca nako di jendela meunasah ikut pecah. Pertengkaran itu disebabkan Mak Teh tidak terima itiknya berjalan terseok-seok karena kakinya patah. Pelakunya Laila. Iya, saat itu Laila sedang menjemur pakaian di halaman rumah di tali jemuran kecil. Mungkin oleh hembusan angin, beberapa pakaian cuciannya jatuh ke bawah. Waktu menjelang sore, lepas ashar Laila ke luar rumah untuk mengangkat kain yang ia jemur. Tiba-tiba saja ia marah besar karena di sebagian pakaian yang jatuh itu terlihat bekas kaki itik. Beberapa juga dihiasi dengan kotoran ternak itu. “Bret mak! Cape-cape aku nyuci malah jadi seperti ini?!?” Maki Laila. Ia tahu di gampoeng itu, cuma Mak Teh yang banyak pelihara binatang tersebut. Secara kebetulan, beberapa itik lewat dari tempat ia berdiri sambil memungut pakaian cuciannya, dipisahkan antara yang masih bersih dengan yang sudah dikotori dengan noda kaki itik dan kotorannya. Saat itu juga dijatuhkannya kembali pakaian yang sudah dipungut. Lalu mengambil batu besar sebesar ukuran tangannya. Batu itu yang dipergunakan untuk melempar itik yang lewat itu. Salah satunya terkena lemparan Laila di kaki. Walau mungkin itik yang terkena lemparan itu bukan ‘pelaku’ atas stempel kaki di jemuran Laila yang jatuh, dan bukan juga yang menumpahkan kotoran di beberapa helai pakaian jemurannya. Tetapi, apa boleh buat, batu itu sudah terlanjur melayang dan hinggap di kaki. Wusssss Tap! Kuekkkkkkkk! Itik ini tak bisa lagi berlari dan hanya bisa berjalan terseok-seok. Adegan lempar yang dilakukan Laila terlihat oleh mata Mak Teh sendiri yang juga sedang mengangkat jemurannya. Tahu itu itiknya, seketika saja perempuan yang tinggal selang 3 rumah dengan Laila tetapi terletak di seberang jalan gampoeng ini teriak. “Oi, kau kira itik itu dikasih Bapakmu, bisa kau lempar seenaknya!!!” Suara Mak Teh sesaat membuat Laila terkesiap. “Enak saja kau lempar-lempar seperti itu. Kalau marah jangan sama binatang, ini hadapi saya!!! Apa kau mau, ke sini cepat! Dasar lonte!” Kalimat sakti yang punya daya cukup ampuh untuk membuat sakit hati meluncur bak air terjun Niagara dari mulut Mak Teh. Tak mau kalah. “Eeeeee, kau kira nyuci itu gak cape! Itik kurang hajar yang sama kurang hajar denganmu itu sudah bikin jemuranku kotor, tahu! Dasar lonte tuha (pelacur tua).” Mendengar kalimat demikian, beberapa anak muda yang menonton menyambut dengan meriah; “Hamboeeeeeee” “Hayakkkk! Crap!” “Lantak!” “Nyan cok.” “Pue lom? Ka balah!!!” Suasana perang ala perempuan desa itu kian semarak dengan riuh penduduk. Apalagi lelaki dewasa dan aparat desa untuk jam seperti itu, belum sore-sore benar belum ada yang pulang. Disebabkan adanya pantangan untuk pulang cepat bagi yang sudah berkeluarga dengan alasan anggapan penyebutan hanjeuet jioeh lam geutiek inoeng (tidak bisa jauh dari ketiak istri). Maka mereka lebih banyak menghabiskan waktu di sawah walaupun pekerjaan untuk hari itu sudah selesai. Mendengar begitu, Mak Teh makin berang. Amunisi tempur berupa bongkahan tanah depan rumahnya dilempari ke arah Laila yang sekarang sudah berdiri di jendela rumah, cuma nampak kepala saja. Melihat gelagat yang diluar kesepakatan tempur. Dalam arti harusnya tempur itu hanya pergunakan jurus silat maki yang tingkatannya lebih keras dari silat lidah, sekarang beralih ke bongkah tanah. Laila juga kalap. Kembali lagi ia ke luar rumah, memungut bongkah tanah kering dan dilemparkannya ke arah Mak Teh. Mungkin karena pengaruh jarak makanya tidak sampai mengenai perempuan yang mulai mendekati usia senja itu. Sekarang dari acara silat maki berubah ke tempur mirip rakyat Palestina melawan Israel apalagi setelah adegan lempar-lempar itu yang awalnya bongkahan tanah, sekarang berubah menjadi batu. Berawal dari Laila yang sedang diamuk geram dengan Mak Teh, ia tidak melihat lagi apa yang dipungut. Tidak ia sadari, batu sekepalan tangan dilemparkan dan nyaris saja mengenai kepala Mak Teh. Tahu yang dilempar tidak lagi bongkahan tanah, Mak Teh juga tidak mau kalah untuk juga mengambil amunisi batu-batu untuk dilemparkan. Dek Ti, salah satu anaknya turut dilibatkan. Gadis kelas VI SD itu disuruh ibunya untuk kumpulkan batu-batu sebagai alat untuk dilemparkan ke arah Laila. Sedang Jannah, anak bungsu Laila hanya meringkuk di dalam kamar, ketakutan tidak mengerti kenapa 2 perempuan yang kemarinnya begitu akrab sekarang malah saling meurapa (memaki) dan geulawa (melempar). Di tengah seru-serunya lempar melempar batu itu, bisa jadi karena kecapaian, Mak Teh sudah sering menyasar lemparan jauh dari tujuan. Kali ini kaca nako jendela meunasah jadi sasaran. Pranggggggggg! Diam. Hening. Tak ada lagi batu yang melayang-layang di udara. Mak Teh tercekat. Laila terdiam dengan batu di genggaman. Segera bendera putih sebagai tanda berhenti muncul, tapi tidak berbentuk kain benar-benar melainkan tidak ada lagi lempar melempar itu karena Mak Teh ketakutan. Seperti umumnya ureueng gampoeng (orang desa), mereka akan sangat ketakutan kalau sampai macam-macam terhadap rumah ibadah. Baka, salah satu warga yang sudah gila lebih dari 10 tahun diyakini mengalami gangguan jiwa seperti itu juga ulahnya yang melarikan tabungan meunasah. Dan sekarang, ingat kejadian yang dialami Baka membuat Mak Teh histeris, panik. Beberapa itik yang sebagian sudah masuk kandang dijualnya dengan harga miring ke beberapa warga. Jarang-jarang Mak Teh bisa sedermawan itu bisa menjual itiknya dengan murah. Terkadang, kalau ada orang yang lewat dengan sepeda dan tidak sengaja menabrak itik piaraannya. Sering Mak Teh mematok harga harus dibayar melebihi harga sebenarnya, walaupun itik yang ditabrak tadi dipotong dan dimakan untuk keluarganya sendiri. Tidak lama setelah proses jual menjual disebabkan kepanikan Mak Teh. Ia beranjak ke rumah Imuem Meunasah. Di sana hanya ada istri Teungku Imuem. Uang hasil penjualan itik itu diberikannya ke istri Imum Meunasah sebagai ganti kaca nako yang pecah. Karena harga kaca itu tidak sampai 20 ribu, sedangkan itik yang dijual tadi sampai 40 ribu, Mak Teh masih bisa memiliki uang sisa. Kebetulan saat memutuskan untuk menjual itiknya Mak Teh sudah tidak sempat berpikir oleh kepanikan yang dirasakan begitu kuat. Sedang Laila, seiring sore yang terus merambat dan anaknya Ramat pulang telat. Menemukan tempat untuk luapkan pikirannya yang penat. “Hebat ya! Sore baru pulang. Taunya cuma makan makan dan makan saja. Apa kau kira aku kuli bapakmu?” Kalau sudah demikian, Laila memiliki kebiasaan baru. Menyuruh anaknya menghadap dinding dengan baju yang harus dinaikkan ke atas. Awee teuplah peuet atawa rotan yang sudah dibelah 4 dari tengah ke ujung, silecutkan ke betis punggung bahkan leher. Laila menjadi psikopat? Ia menjadi perempuan gila? Orang di desa seperti itu tidak mengenal istilah psikopat. Mereka sering menganggap itu normal saja meskipun memang ada yang tidak setuju dengan cara kekerasan orangtua terhadap anak demikian. Menjadi hal yang lumrah saja di mata mereka melihat anak yang dipukuli orangtua. Beberapa bapak-bapak bahkan ada yang menghukum anaknya dengan mengunci pintu kamar dari luar, membiarkan anaknya menjerit-jerit di kamar tanpa ventilasi. Ada juga yang karena kemarahan kuat atas anak yang memang tidak bisa melawan, memilih menghukum anaknya diikat di pohon yang dipenuhi semut merah. Laila juga acap melihat itu. Juga sering ia lakukan terhadap anaknya sendiri ketika misal dalam pandangannya Ramat atau Jannah terlihat membandel. Saat ia sedang masak, tidak ada korek api dan anaknya menolak untuk belikan korek ke keudee Toke Jampoek. Ia bisa mengurung Ramat atau Jannah juga keduanya bahkan sekaligus. Dihukum demikian dan dilepaskan kalau sudah sore menjelang ayahnya pulang. Mungkin karena pengaruh pola didik seperti itu sehingga lambat laun sorot mata dan fisik anak ini terlihat lemah dan kuyu tidak seperti anak-anak yang tumbuh dengan kasih sayang yang baik. Ramat terlihat kurus, bahkan beberapa bagian tubuhnya terlihat tonjolan tulang. Sedang Jannah, sering sakit-sakitan. Hampir saban hari, Jannah kecil hampir tidak pernah lepas dari ingus yang menghias pipi. Sehingga ketika dibawa ke rumah tetangga, mereka sangat jarang menoleh ke anak ini. Ramat sendiri, kalau ke sekolah dan celananya koyak di belakang, ia terus saja ke sekolah sambil mencoba menutupi celananya yang robek demikian. Berharap untuk dijahitkan lobang di kedua belah celana bagian belakang itu, tidak akan digubris ibunya. Karena Ibunya pasti akan mengatakan, bahwa ia menjadi istri ayahnya Ramat bukan sebagai babu, titik. Kalimat itu menjadi jurus penutup untuk permintaan Ramat. ———— To be continued [Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri syariat: Aceh]. Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku Sumber Gambar: di sini dan di sini ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya 15. Aku Malang, Istriku Jalang 16. Istriku Jalang Mengejar Lajang 17. Demi Selingkuhan 18. Istriku Jalang dan Lelaki Malaikat 19. Ibu Anakku: Perempuan Bergilir 20. Lepas Setubuh Subuh 21. Darah Pelanggan Raja Singa 22. Perempuan Itu tak Berbaju. 23. Anak Lapar dan Perempuan Sangar. 24. Menelusuri Dada Laila

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun