Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perkampungan Mayat

14 Mei 2012   19:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:17 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1337024591115732256

[caption id="attachment_188290" align="aligncenter" width="474" caption="Gbr: Indowebster"][/caption] Menjejak kaki di perkampungan itu, Langga harus biarkan kedua lubang hidungnya menghirup bau yang tidak biasa. Bau yang seperti dipenuhi kekuatan yang mampu menyedot tenaganya. Sampai kemudian yang terasa, energinya ikut menguap.

Tidak ada pilihan lain, ia harus hentikan gerak kakinya. Hentakkan tubuhnya dengan tenaga yang masih tersisa. Melenting dan hinggap di dahan satu pohon sebesar tiga kali ukuran badannya. Bersila di tiga dahan yang berbentuk hampir sejajar. Mendongakkan mukanya ke langit. Menatap matahari lewat celah kecil di antara dedaunan yang begitu lebat.

Kedua tangannya terlihat menggenggam kedua lutut erat-erat. "Ketika kau sedang butuh jawaban, sedang kau tidak tahu ke mana harus bertanya, lihatlah matahari. Resapi cahayanya, dan tujukan pikiranmu pada cahaya itu. Setelah kaurasakan kekuatannya, tujukan lagi pikiranmu selangkah lagi pada sesuatu di balik cahaya itu. Maha Cahaya, kerahkan keyakinanmu, Dia akan berikan jawaban untukmu," mengiang pesan gurunya saat satu purnama lalu sudah ia tinggalkan di padepokan kecil Lembah Barinai.

Dalam terpejam, ia merasakan satu cahaya putih keperakan seperti dilempar ke arah kepalanya. Nyaris ia membuka mata untuk menepis itu. Ingatan pada petuah gurunya hentikan niat itu,"Ketika kau sudah serahkan diri pada Dewata, tak ada apa pun yang akan celakakan engkau!"

Cahaya keperakan itu ia biarkan menimpa kepalanya. Pelan, sejuk merasuk membelah helai-helai rambutnya. Sebuah suara tanpa wujud menyinggahi telinganya."Kau sedang berada di perkampungan mayat. Mayat-mayat itu tidak benar-benar mati. Mereka hanya dikutuk Prabu Muka Iblis. Temui dia, minta ia untuk hentikan sihirnya! Bau yang tadi kauhirup adalah energi sihirnya. Tapi, kau sudah terlindungi. Arahkan pikiranmu untuk bisa taklukkan musuh itu, tapi tetap tujukan hatimu pada Dewata!"

Langga membuka mata. Melihat matahari sudah tidak terlalu terang. Senjakala sudah mulai meremang. Tak lama lagi, malam akan datang. Usai semadi itu, tidak ada lagi bau apa pun yang singgahi hidungnya yang berbentuk sedikit runcing itu."Aku sudah dijaga," ulangnya berkali-kali pada diri sendiri.

Ilmu peringan tubuh yang sudah demikian mumpuni, sangat membantunya untuk bisa menelusuri jengkal-jengkal jalanan di kampung itu. Segenap inderanya dikerahkan. Ia ingin menemukan manusia. Tidak. Ia tidak menemukan manusia. Kecuali hanya onggokan mayat-mayat yang mulai mengelupas."Jika tidak benar-benar mati, kenapa mereka bisa membusuk?" ia membatin.

Plak!

Huek!

Satu pukulan di tengkuk dengan tendangan lutut di pinggang, tak urung membuatnya terjajar ke belakang. Darahnya mendadak seperti menggelegak. Timbul inginnya untuk pecahkan kepala orang yang sudah berlaku kurang hajar itu. Ia begitu yakin, yang baru saja memukulnya bukan hantu, meski ia sekarang sedang berada di kampung mayat.

Melupakan sedikit nyeri sembari merutuki dirinya  sendiri yang gagal untuk siaga penuh tadi, ia segera melihat sosok tinggi besar berdiri angkuh pada jarak dua tombak di sisi kanannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun