Guru acap diidentikkan dengan figur-figur serius. Cenderung dikaitkan dengan orang-orang yang sulit tersenyum, kaku, dan berbagai macam stereotype yang sepertinya memang sudah dibangun sejak jaman Belanda. Tapi, keberadaan internet sudah mengubah secara pelan-pelan "brand" yang terbangun itu. Mereka berjuang lewat menulis, dan mereka berjuang lewat candaan. Dua figur itu adalah Bain Saptaman dan Yusuf Dwiyono.
Mungkin tidak semua perambah dunia internet mengenal dua figur tersebut. Atau, boleh jadi juga mereka adalah tetangga, atau paling tidak pernah berguru pada mereka. Iya, Bain adalah guru bahasa di salah satu sekolah di Yogyakarta. Sedang yang satu lagi, Yusuf adalah guru yang mengajar mata pelajaran seni di salah satu sekolah favorit di Jakarta. Keduanya merupakan kawan akrab saya, memang. Terkadang acap tertawa, meledek, dan tidak jarang juga membahas sesuatu secara serius. Artinya, dua figur yang disebut adalah sosok yang sangat fleksibel. Satu sisi mereka loyal dengan profesi yang dijalankan. Tetapi, di sisi lain, mereka juga menyediakan waktu dengan bermain-main. Menariknya adalah, mereka bisa bermain-main dengan sesuatu yang membawa manfaat. Yap, mereka mengusung ide, apa yang sebaiknya dilakukan untuk siswa, "makhluk" yang saban hari mereka akrabi. Kemampuan mengemas sebuah misi seorang guru dengan kepiawaian berhumor ria, saya kira bukan pekerjaan mudah. Apalagi, sebagai guru, tak pelak sangat menyita waktu mereka. Sebab, jika pada sehari-hari siswa dengan leluasa ngedumel bahwa guru seenak udelnya saja memberi pekerjaan rumah. Padahal, guru pun memiliki tugas tidak ringan usai memberi PR itu. Dari memeriksanya, dan terkadang harus membaca tulisan yang mirip cakar ayam. Keruwetan pekerjaan itu tidak menjadi halangan untuk mereka tertawa. Iya, mereka menyebar tawa lewat tulisan-tulisannya. Yusuf Dwiyono dan Bain Saptaman kerap menulis di blog Kompasiana, yang notabene sebagai wadah citizen journalism di bawah raksasa media, Kompas. Mereka bisa menulis lebih dari 10 tulisan dalam seminggu. Sedang penulisan mereka cenderung ringan dan dipastikan tidak njelimet. Namun, saat mengulik lebih dalam, apa yang mereka bincangkan di sana, terdapati pesan-pesan tersirat. Seperti Bain, dalam salah satu tulisan di blog itu, ia menyindir persoalan penilai
terhadap siswa berdasar angka. Di sana, ia menceritakan tentang seorang siswa yang tewas seusai ujian. Saat diperiksa di alam kubur, apakah ia akan ke surga atau ke neraka, si anak berdalih nilai agamanya baik: 9,8. Anak itu merasa dengan angka itu akan membantunya bahkan sampai ke alam kubur. Tidak jauh beda halnya dengan Yusuf Dwiyono yang sosoknya pernah saya temui langsung di Gramedia Matraman beberapa waktu lalu. Ia, selain bercerita, juga memuat satir-satir renyah namun berisi. Ia juga menembak kondisi aktual di dunia pendidikan. Dalam tulisan terakhir saya baca, Yusuf menceritakan perdebatan seorang anak dengan orangtuanya. Si ortu protes, kenapa rangking anak itu bisa begitu buruk. Tidak kurang, ayah si anak tersebut bahkan membandingkan dengan mantan presiden. "Nak, waktu seusia kamu, Presiden Soeharto mendapat rangking satu lho." "Lah, tapi presiden itu juga seusia ayah sudah jadi presiden, kok ayah cuma jadi pegawai biasa?" Tanpa perlu dijelaskan gamblang, terang terlihat kandungan pesan yang diangkat oleh kedua pahlawan paling berjasa di dunia itu (saya tidak suka menyebut guru pahlawan tanpa tanda jasa). Tentu saja, muatan kritik dunia pendidikan yang mereka angkat tidak itu saja. Banyak tulisan lain mereka tuliskan dalam blog mereka. Kendati ada pula topik di luar pendidikan, namun secara garis besar tidak terlalu jauh dari dunia yang mereka geluti.
Bain Saptaman adalah guru pecinta musik, mengidolakan The Beatles. Pun, ia gandrung dengan sepakbola, dan ia mengaku fans Liverpool. SedangÂ
Yusuf Dwiyono, menjelaskan dirinya dengan satu bahasa filosofi yang sekilas ringan:"Menjadikan pertemanan dengan orang waras untuk mengetahui kegilaannya, menjadikan pertemanan dengan orang tidak waras agar tidak terketahui gilanya." Tentunya Yusuf menjelaskan sikap pribadinya dalam memandang hidup, bahwa di sana selalu ada kandungan positif dari sekonyol apapun pengalaman yang ditemui dalam kehidupan. Begitu sekilas tentang dua guru yang kerap tertawa dan bercanda dengan saya di dunia internet. Mereka masih terus konsisten menulis, kendati tidakÂ
sok-sokan serius. Sejak 5 Februari 2010 sampai tulisan ini saya tulis, Bain sudah menulis di blog sejumlah 698 artikel. Sedang Yusuf, 5 Juli 2010 sudah menulis di blognya sebanyak 98 artikel. Tidak perlu kening yang terlalu mengerut. Namun harus dilihat upaya perjuangan yang mereka gagas dengan model yang sederhana. Mereka mengusung sebuah misi pendidikan yang agung. Di sini mereka adalah figur guru yang telah mengtransformasi keberadaan blog dengan cukup bijak. Anda, pasti mendukung mereka, bukan? Salam pendidikan! (FOLLOW:Â
@zoelfick | Photo dicuri dari FB kedua guru tersebut) ALSO PUBLISHED IN:
PROTAGONIBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Inovasi Selengkapnya