Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perjaka Membicarakan Seks, Logis?

28 Oktober 2009   22:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:30 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setelah proses diskusi di Facebook dengan Mbak Mariska terkait dengan wacana menulis buku kolaborasi Seksologi, Sosial dan Sastra, saya juga meng-publish wacana tersebut di media yang sama. Seorang rekan spontan berujar dengan kalimat yang simpel—juga di Facebook—: “Fick, untuk sastra dan sosial okelah. Bagaimana dengan S (eks) yang pertama?” Sekalipun hanya diberikan pertanyaan yang simpel seperti itu, sesaat saya sempat terhenyak dan tercenung. Rekan ini sangat mengenal saya, seorang perjaka dan belum mengenal seks dari sisi praktiknya. Satu sisi, sangat logis ia mempertanyakan, bagaimana membicarakan seks jika belum pernah merasakannya? Lantas, saat itu juga pikiran saya melayang, apa yang selama ini saya lakukan untuk mengenal seks. Tegas, saya bukan penganut seks bebas yang dengan leluasa melakukan hubungan seks diluar nikah. Dan, mungkin saya layak membanggakan keperjakaan yang masih bisa saya pertahankan. Walau mungkin dengan realitas kelonggaran yang ada, jika mau mungkin saya bisa saja menanggalkan keperjakaan itu tanpa seorangpun tahu, selanjutnya saya tetap akan terlihat sebagai seorang perjaka. Karena logika sederhana, bukankah memang seorang lelaki, baik ia masih perjaka atau tidak, tetap tidak memiliki sebuah tanda yang layak dipercaya untuk mengetahui ia perjaka atau tidak. Benar yang disebutkan rekan saya tadi, apa yang menjadi dasar saya berbicara yang berhubungan dengan seks, karena jangankan persoalan kepakaran, untuk melakukan hubungan seks itu sendiri belum pernah. Namun begitu, saya merasa sangat confident dengan kemauan saya sejak kecil untuk melahap berbagai jenis buku, tentu saja yang berhubungan dengan seks–tidak untuk bacaan stensilan—. Dan selanjutnya, saya memiliki kegemaran untuk bertanya tentang apa saja yang tidak saya ketahui. Termasuk dengan banyak rekan saya yang telah berumah tangga. Sedikitnya, kendati itu boleh dikatakan belum begitu memadai. Tetap saja, hal-hal demikian merupakan sebuah media tidak sederhana untuk memupuk pengetahuan saya berhubungan dengan seks. Bukankah dari sisi ilmiah juga, standar untuk mengetahui bagaimana seorang pelaku kriminal melakukan pembunuhan, tidak mutlak harus dengan ikut melakukan juga   pembunuhan yang serupa? Nah, saya tidak berniat untuk mencari pembenaran terhadap sikap ngotot saya untuk tetap bicara seks, walau masih perjaka. Karena, saya percaya dengan media hati untuk melihat apa saja. Dan tentu untuk berbicara tentang topik apa saja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun