Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan Itu Tak Berbaju

7 Mei 2010   17:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:20 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_135944" align="alignright" width="234" caption="Laila, kau indah hanya jika senyummu bisa lebih merekah"][/caption] Siapa yang merenda luka jika bukan mata yang memilih membuta. Tak ada sungai airmata jika parit-parit dusta tak terbiarkan menganga oleh jiwa angkara. Buta mata masih bisa beroleh syurga, kematian hati hanyalah jembatan besar menuju neraka. ----- Lelaki itu menjerit dalam hati. Atas luka yang sebenarnya tak ingin lagi ia raba, tetapi justru itu kembali tiba. Bayangan masa kecil sebagai anak yang tak pernah dimanja, memaksanya untuk titikkan airmata. Ketika kecil harus menjalani hidup dengan meraba-raba, saat tiba masa dewasa juga menerima bagian catatan penuh aksara luka, abjad sengsara. Hasan, tidak sedang menangis. Tetapi satu hal yang manusiawi jika kenangan pahit membayang ulang, aimata keluar tanpa bisa dihalang. Ia hanya menatap saja uang 500 rupiah yang digeletakkan di piring di depannya. Kenapa bisa seorang wanita yang disebut-sebut banyak ulama dicipta di syurga tetapi bisa sedemikian tega membuat ia terhina. Iya, lelaki ini merasa terhina dengan perlakuan istri yang sebenarnya sangat ia cinta. Istri yang tak pernah lelah mencakar hatinya hingga luka terus saja kian menganga. Merasa terhina karena uang yang tergeletak diam di atas piring yang harusnya berisi nasi itu, tadi pagi diniatkannya bisa dibelikan ikan asin dan mungkin beberapa ikat kacang panjang. Apalagi, ketika itu harga kacang panjang untuk 1 ikat tidak lebih dari 25 rupiah. Ikan asin 1 ons hanya 50 rupiah. Sisanya bisa dibelikan beras 1 liter. Demikian perkaliannya maka ia berkeputusan saat pagi masih basah untuk tempatkan uang 500 rupiah di bawah bantal istri yang menikmati tidur sedemikian betah. Ah! Uang itu masih utuh di piring ini. Ditutupnya sangee (penutup makanan) itu, duduk diam sejenak di kursi yang terletak di sisinya. Tercenung. Merenung. Wajahnya berubah mirip dengan mendung. Di pikiran sempat berkelebat pikiran mendobrak pintu kamar yang hening karena Laila sepertinya terlalu sore tidur. Hancurkan pintu itu dan menjambak rambut perempuan yang tidak berperasaan. Perempuan yang tidak tahu seperti apa lelahnya mendapatkan rupiah demi rupiah di bawah matahari yang memanggang. Sebagai kuli angkut batu di truk orang. Menarik napas panjang dan ia biarkan kelebat niat untuk meradang, hilang. Sedang bermenung demikian, pintu kamar terbuka, dan kotak mie instant, tika bloeh (tikar pandan) dilempar perempuan yang tak lain istrinya yang telah memberi 2 anak itu. Persis di dekat kakinya. Yap, Laila memintanya untuk tidur di luar kamar saja. Ada rasa ingin meronta dan menarik rambut perempuan itu agar juga meronta-ronta, mati dan mungkin ia bisa bernapas lebih lega. Tidak, Hasan tidak lakukan itu. Ia hanya bangkit dan mengambil tika bloeh dan kotak mie instant. Tanpa selimut, tanpa bantal. Langsung saja ia gelar di luar kamar. Tidak tertarik untuk bicara. Ia lebih berselera untuk diam tanpa kata-kata. Hasan bukan lelaki takut istri, apalagi cuma seorang istri yang tak berbaju malu seperti itu. Tetapi ia tidak ingin ribut. Apalagi seluruh badannya benar-benar lelah setelah seharian bekerja. Di tikar beralas kotak mie instant yang digelar di lantai itu, sejenak ia rebahkan badan. Rokok yang biasa selalu mengepul dari mulutnya, kali ini ini tidak membuatnya terangsang menghisap walau hanya setengah batang. Pikirannya jauh menerawang. Di langit gudang yang menjadi tempat tinggalnya tanpa terlihat bintang. Karena cuma ruang dengan langit berupa atap usang. Tidak tahan dengan perut yang mulai perih. Ia keluar rumah. Membeli beras, ikan asin 1 ons di keude kecil milik Teungku Jampok. Keudee yang hanya buka siang. Tapi biasanya bisa diketuk kalau ada penduduk yang ingin beli apa saja malam-malam begitu. Kembali ke rumah, ia memasak nasi sendiri. Menggoreng ikan dengan minyak kelapa yang beberapa hari lalu ia bikin sendiri. Kelebihan Hasan, memang dalam banyak hal ia bisa lakukan sendiri kalau berhubungan dengan kegiatan dapur. Ia lelaki kreatif. Sayangnya ia memiliki istri yang tidak sensitif yang melihatnya tak lebih dari seorang suami yang naif. Kanoet bue (periuk nasi) di atas tungku terlihat menunjukkan nasi sedang mendidih dan mengeluarkan uap, agak bersuara ribut karena getar tutup kanoet yang beradu. Kreeekkkkkkk Suara pintu terbuka. Ramat, tanpa baju dan celana yang basah. Bisa dipastikan ia baru saja ngompol. Sambil menyeka kedua matanya berjalan ke arah Hasan yang sedang berlutut di depan tungku. "Yah, kadeuek (Yah, lapar)." [caption id="attachment_135945" align="alignleft" width="300" caption="Nak, doakan ibumu"][/caption] Agak mengernyit dahi lelaki yang dipanggil ayah itu. "Ramat juga belum makan, Nak?" Tanya Hasan. Karena ia menduga, walaupun di piringnya tidak ada nasi. Pasti untuk sendiri, Laila akan akan masak untuk dirinya dan mungkin juga untuk anak-anak. "Belum, tadi Mak bilang, Ramat makan dengan ayah. Adek Jannah saja tadi yang makan dengan Mak." Tep! Setitik airmata jatuh di pipi lelaki itu. Jangan katakan ini airmata lelaki yang takut pada istri. Tetapi itu adalah air yang keluar dari mata lelaki yang sedih atas si buah hati. Ada geram membuncah. Kenapa anaknya harus jadi korban, jika memang Laila menaruh marah padanya. Segumpal tanya membuat dadanya sesak. Andai bukan karena terpikir kelak ia harus bertanggung jawab di depan Tuhan, terbetik niat di hati lelaki ini untuk mengambil palang pintu sebesar lengannya untuk diketukkan ke kepala perempuan itu, biar saja mati. Tapi, lagi ia masih bisa kuasai diri. Ditariknya Ramat sembari melepaskan celananya yang basah dan berbau pesing itu. Didudukkan di pangkuannya sambil membelai-belai kepala si kecil ini. "Tunggu ya, Nak. Sebentar lagi nasinya masak." Sambil mengecup pipi Ramat. Bocah itu hanya mengangguk pelan. Suara perut Ramat yang tiba-tiba terdengar, kian mempertegas, anaknya ini sedang diamuk rasa lapar. Suara perut yang benar-benar membuat hati lelaki ini menjerit. Dulu, memang ia sempat tidak yakin Ramat itu anaknya, karena tindak Laila yang begitu gemar menjadi dalang atas beberapa lelaki yang dijadikan wayang. Sekarang, ia tidak ragu setelah tahu kalau Ismail satu-satunya lelaki yang begitu dekat dengan istrinya hanya seorang lelaki mandul. Terbukti dengan 2 istri tapi tidak punya anak satupun. Saat mata Ramat mulai terlihat mulai mengantuk, Hasan bangunkan putranya ini. "Neuek, bangun. Ayo makan." Dengan wajah yang mulai kian kuyu Ramat menyeka lagi matanya. Turun dari pangkuan Hasan. Mengambil piring untuknya sendiri dan juga untuk ayahnya ketika Hasan sedang mematikan api di kayu bawah kanoet bue. Tersenyum lelaki itu melihat Ramat juga mengambilkannya piring. Tapi diambil piring Ramat terlebih dahulu untuk ditempatkan nasi dan kemudian meniup-niupnya agar tidak terlalu panas. Diberikan ke anaknya itu setelah diletakkan juga sekerat ikan asin di tepi piring kaleng itu. "Cuci tangan dulu, Neuek." Perintah Hasan lembut. Ramat terlihat diam memasang wajah malas. Diletakkan dulu piringnya di lantai, Hasan mengambilkan air dengan batee (tempurung yang dijadikan tempat minum), membasuh kedua tangan anaknya ini. Terlihat Ramat sudah dengan lahap menguyah nasi dengan ikan asin. Dari cepatnya tangan kecil itu menyendok nasi dari piring ke mulut dengan lima jari mungilnya, memperlihatkan ia begitu lapar. Beberapa jenak, Hasan hanya memperhatikan wajah anaknya ini dengan pandangan teduh yang sudah tercampur perih. Kenapa anak ini harus memiliki ibu serupa itu. Dalam hati beberapa kali Hasan menyalahi diri. Kenapa ia tidak ditakdirkan untuk terlahir sebagai lelaki cerdas dan berpendidikan, dan bisa memiliki istri yang baik juga tahu kewajiban sebagai seorang ibu. Pikiran yang mengawang itu membuatnya tidak terlalu berselera lagi menyantap nasi di piring yang sedang berada di telapak tangannya. Ia makan sambil berjongkok karena kursi satu-satunya sedang diduduki anaknya. *** Kalender sudah menunjukkan angka pertengahan 80an. Ramat sudah sekolah di SD di desa itu. Bocah ini berangkat sendiri ke sekolahnya setiap pagi, tidak ada yang mengantar. Apalagi Ayahnya kerap berangkat pagi-pagi sekali jauh sebelum ia terbangun dari tidurnya. Sedang Ibunya, Ramat tidak berani bermanja dengan perempuan yang dipanggil Mak olehnya itu. Sekalipun untuk minta diantar ke sekolah. Bukan karena apa-apa, tetapi makian-makian yang sering keluar dari mulut ibunya itu membuatnya benar-benar takut setengah mati. Bahkan sekedar untuk melihat seperti apa wajah ibunya, Ramat tidak berani. Ketakutan itu makin menguat setelah beberapa malam lalu, ia sedang merindukan Ayahnya yang belum pulang sampai azan isya berkumandang. Kerinduan yang membuat ia terus membayangkan Ayahnya. Sampai ia menangis sambil menyebut ayahnya. Sedang Laila, ketika itu sedang akan memulai berbaring untuk tidur setelah membakar anti nyamuk. Merasa terganggu dengan tangisan Ramat. Perempuan ini menyuruh anaknya diam. Tidak digubris. "Ka moe laju, ku toet ngoen ubat nyamoek ntreuek baroe ka thee. (Menangis terus, kubakar dengan obat nyamuk nanti baru tahu diri!)" Ancaman itu juga tidak membuat Ramat hentikan tangisnya. Tak pelak, ibu berhati batu itu mengambil obat nyamuk di bawah ranjang, ditempelkan ujung yang menyala ke tangan kecil Ramat. "Ka ieemmmmmm (diammmmmm!)" Menahan perih oleh api dari obat nyamuk itu, membuatnya harus hentikan suara tangis. Tetapi tetap keluarkan airmata dengan wajah yang tersengal-sengal. ———— To be continued [Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri syariat: Aceh]. Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku Sumber Gambar: di sini dan di sini ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya 15. Aku Malang, Istriku Jalang 16. Istriku Jalang Mengejar Lajang 17. Demi Selingkuhan 18. Istriku Jalang dan Lelaki Malaikat 19. Ibu Anakku: Perempuan Bergilir 20. Lepas Setubuh Subuh 21. Darah Pelanggan Raja Singa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun